Kamis, 03 Juli 2014

Turbulensi





catatan: Sambil dengarkan pesawatku terbang ke bulan by Memes akan lebih meriah :)



Sudah 24 tahun lebih lamanya akhirnya aku mengakhiri rasa penasaran akan rasanya memiliki sayap. Esensinya adalah terbang dan menembus awan. Mulanya aku aku hanya bisa "motong abung njaluk uiteee..." (pesawat terbang,berikan aku uang), dan aku menjadi anak tiri ketika keluarga membahas tentang pesawat terbang, mengapa? tebak saja berdasarkan kalimat awalku. Bayangkan saat aku terbang dengan media Boeing, rasnya ingin selebrasi seberti Robin Van Persie, terbang!! Aku hanya berharap, kalian tidak menduga - duga apa yang akan aku lakukan, seperti kebingungan melepas sabuk pengaman.

Dibalik semua selebrasi itu, ada satu zal alir yang aku alami secara konstan, dia diberi nama turbulensi. Geraknya tidak beraturan, namun bisa di prediksi ketika bertemu awan. Perut kosongku selama dua jam terasa berteriak, seolah aku menggelitik usus dan lambungku, atau minimal aku menyamakan saat mengendarai kendaraan bermotor (termasuk mobil) selepas melewati jalan yang menanjak lalu mendadak turun, "Nyer" orang Jawa menyebutnya. Hanya satu organku yang konstan pula berdetak kencang, Jantung. Entah mengapa begitu cepat dan sembari sulit untuk menghirup napas dalam - dalam.

Gagasan langit biru yang selama ini diceritakan, aku lebih dekat melihatnya. Hamparan Indonesia yang hijau, aku lihat lewat celah berkaca selama Jakarta - Jogja. Tak lupa panduan doa dan cara menyelamatkan diri. Sebenarnya satu hal ini yang membuat imajinasiku buyar sesaat, gelembung - gelembung udara panik akan sorotan televisi tentang gagalnya sebuah penerbangan. Sempat kesal sesaat, tapi itu adalah bukti, bukan janji. Bukti bahwa mereka peduli akan keselamatanku. Peduli, iya peduli :)

Lagi - lagi turbulensi hadir ditengah rasa setengah yakin bahwa mereka peduli. Goyah, berdegup kencang lagi, lagi, dan lagi. Tak elok jika melihat ke bawah melalu celah, tak indah bila terus terpejam karena jantung ku mulai menghujam. Bisik berlari angan kembali, kaki bergetar tangan gemetar, mulut bergumam pikiran terdiam. Mulai lah dari kata terakhir, diam maka pesawatku akan terbang ke bulan. Iya, terbang ke bulan.

Turbulensi dalam bentuk sesi, fase, dan konteks. Turbulensi dalam bentuk manusia, perasaan, dan emosi. Turbulensi dalam bentuk pikiran, angan, dan imajinasi. Turbulensi ketika bertemu awan, oh tunggu dulu, sudah 24 tahun ternyata aku baru merasakan turbulensi. Pertanyaannya adalah kemana saja aku selama ini? Sebelum berfikir untuk menyusun rangkaian kalimat atau setidaknya berimajinasi untuk menjawab, aku hanya ingin terbang berkali - kali lagi, merasakan turbulensi seribu tahun lagi, dan berkata "lihatlah, aku sudah melihatmu dari ketinggian :)"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan di Respect