Sabtu, 31 Mei 2014

Menjadi Pagi



Sial, ternyata Dirga menikmati rasa sakit yang sangat melilit pada uluh hati. Setiap detak jantung dan detik waktu menjadi nikmat anomali nikotin. Sisi – sisi  tulang rusuk perlahan bergetar menggerakan tubuh untuk gusar agar terbangun dari kasur yang sangat tipis. Begitu tipis karena semua perhatiannya masuk kedalam kotak suara kakak pertama. Begitu tipis sehingga kemampuan untuk bermimpi bagi anak ketiga begitu sulit, begitu terkekang oleh udara yang menghimpit di sela – sela tegel kamar berdinding tiga kali empat. Tak ada waktu untuk berdiskusi dengan udara malam, Dirga mulai menjejakan kakinya pada tumpukan sepatu kumal yang tertumpuk rapih. Tumpukan sepatu yang harganya menjulang tinggi karena di kasih manis tanpa asam oleh orang berbisnis yang hanya menjadi pemanis di mulut.
***
Ujarnya akan menghentakan kaki pada dinding dini hari yang malang, namun kuasa diri tak tahan untuk menyangga berat badan yang semakin membuncit untuk ukuran jiwa tersiksa. Sudah tersiksa, buncit pula. Dirga memutuskan untuk menghentakan kaki pada skala seperlima kuda besi yang malang melintang sejauh 1579 km. Oh, tunggu dulu, niatnya tidak untuk menyamakan jarak yang sudah ditempuh, niat Dirga kala itu hanya untuk menghilangkan rasa gusar yang mengganggu kenikmatan bermimpinya.
***
Termenung pada jalan kosong nan melintang ara, bercak – bercak sisa dunia malam bagi pemuda pemudi sepertiga malam terlihat pada deretan pedagang pagi. Gigi demi gigi mulai berganti, harapan mulai menyelundupi kalbu, satu per satu keinginan terbuka untuk menuju daerah timur. Timur ring road utara tercetus ketika mendengar bisikan penyiar ruang hampa. Maju berjajar pada lintasan yang sudah berstandar APILL. Hiruk pikuk mulai menyepi dan Dirga benar – benar sendiri ketika memasuki plang Candi Ratu Boko dan Candi Ijo. Petugas malang melintang untuk melarang laju keinganan menikmati pagi di Candi Ratu Boko. Dulu, mereka hanya melihat Candi sebagai rangkaian seni, kini mereka melihat daya tarik magis dan mengharuskan menggunakan “sarung” Candi. Kemudian Dirga terdiam pada standar kuda besi yang telah di hentikan, bernegosiasi dengan diri sendiri untuk memutuskan kemanakah akan mengalihkan sakit hati karena mimpi yang begitu tipis dan mulai terkikis oleh candu kepentingan Historis yang Hierarki.
***
Sudahlah, Dirga tak mau lagi berekspetasi untuk menajdi pengganjal rongga lubang anak ketiga. Dirga mulai berfikir bahwa Candi Ijo di seberang arah dan bertepatan dengan hari bahagia Siti dan Wahyu di daerah itu. Lurus terus untuk mencapai puncak manis yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Terlihat sosok Candi menyendiri yang berdekatan dengan kabut lembut. Cahaya dari ufuk timur menghapus sakit hati dan Dirga tidak berfikir sementara untuk menikmati pagi. Menjadi pagi sebagai alternatif ciptaan Tuhan yang sejajar, sempurna, dan di beri nikmat yang sama. Dirga, candi, alam, kabut, hijau, dan Jalan yang panjang untuk pagi ini.