Rabu, 23 Juli 2014

Garis Hitam Berkelompok

                                                       
         

Aku mulai berjajar dan merapikan barisan
Berduyun-duyun ku rangkai semua pasukan berbentuk cekung
Tuan ku mulai mengisyaratkan bahwa malam enggan lesap sekejap
Maksud hati untuk menunda mengatup daun mata
         
Aku terbiasa untuk siap siaga
         Sedari tuan ku kecil, aku selalu berkubang hingga hitam
         Pun, tuan ku pernah bertanya, mengapa aku selalu berkumpul dan menyekung?
         Aku jawab dengan insan jenaka, itu cara ku mencintaimu

Tuan ku tak pernah bisa hanyut dalam definisi cinta
Baginya, itu tak akan sempurna tanpa hitungan purnama
Masih terjaga hasutan yang semakin merajalela
Tenang tak berupa di kala fajar tiba, risau menjadi pemenang
          
Makin lama lamunan makin larut
          Makin lama himpunan makin cekung
          Tuan ku mengutus serebum nya bergerilya
           Bergegas untuk mengikis jalur yang tak licin, agar berair

Aku mulai senang, Tuan ku mulai aku manjakan
Aku mulai memberikan tanda paling nyata
Malam Tuan ku indah
Rayuan malam tak pandai menyekat kapita

Sabtu, 12 Juli 2014

Kisah dan Sepi


Setiap hari yang kita jamah bersama adalah sebuah kisah. Kisah dari perjalanan yang membumi dan mengudara. Dulu mengudara melalui radio, kini mengudara melalui vimeo. Terkadang, mengudara bersembunyi dibalik mimpi yang tak terpikirkan sama sekali. Diam - diam dia menggengam calon - calon takdir, atau setidaknya membisikan kata - kata yang tak sempat tersampaikan. Bait per bait, nada per nada, dan susunan not balok yang belum selesai terkadang berjalan tanpa pengarangnya. Dalam mimpi, hampir tidak ada suasana yang terpatri, kalau malam ya malam saja, kalau siang, ah sepertinya hampir tidak ada siang, adanya mendung dan sejuk.

8 kali bangku sekolah telah dilewati, tak ada sekalipun tanpa hari yang tidak saling menyakiti. Menyakiti versi kami, versi yang sangat presisi. Goresan tawa menjadi senandung untuk memahami satu dengan yang lain. Kumpulan kisah ini menjadi lembar yang membuat cermin besar diatas tiang - tiang kehidupan. Ketika semua mulai berjalan pada porosnya masing - masing, saat itu pula proses hilang akan datang tiba - tiba. Sebagai kumpulan lelaki yang selalu berpijar, itu bukan prioritas utama yang selalu di agung - agungkan, bukan seperti wanita yang selalu menghabiskan waktu untuk dipikirkan setiap hari.

Setiap hari melalui jalan yang sama, lurus tanpa ring road dan cabang jalan yang membingungkan. Menuju haru dan berjabat tangan untuk bersenang - senang. Hari nanti, akan menjadi rindu untuk di tertawakan bersama, sekaligus menangis kesepian di hari tua. Hanya saja dan baru saja kesepian itu datang lebih awal, tanpa berpamitan, tanpa jabat tangan, dan hanya doa dari ratapan kasur Panti Rapih untuk menemani kesepian. Apakah kamu benar - benar sendiri dibawah tanah basah itu? tidak ada jawab yang terlalu berani, hanya saja terakhir kali adalah mimpi. Datang dengan bisikan yang mendung dan berbicara "engkau tahu dengan pasti aku akan kemana". Dan memang senyummu yang tak pernah lekang dari tua mu, kawan. Semoga Qila mu menjadi kisah terhebatmu dan menemani kesepianmu sebagai roh yang suci. Semoga Wulan mu menjadi teladan dan bukti keberanianmu akan cinta, akan kamu tidak bisa diremehkan oleh siapapun dan menjadi wanita yang selalu membesarkan harapanmu. Sampai Jumpa kawanku pada roda putar yang lain, semoga kamu berlomba untuk menjadi tercepat mencapai titik suci disana.

Sampai jumpa di masa depan, Qila. Semoga harapan ayahmu menjadi candu untuk berprosesmu. Dan ketika kamu membaca surat ini suatu saat nanti, kamu akan semakin bertanya padaku tentang bagaimana ayahmu bertemu dengan ibumu :) 

Jumat, 11 Juli 2014

Layar Kaca



Melihat layar kaca, semua sudah porak poranda. Menengok layar kaca, semua sudah tersogok bandar. Menelisik layar kaca, semua sudah terpeleset oleh lidah buaya. Lidah buaya? benar saja, itu yang paling disukai wanita, banyak manfaatnya. Lidah buaya, semua mulut pria bersinergi erat dengan nya. Kembali lagi, pulang saat gelap di lingkaran mata sudah mengepung, ayah berkoar bahwa keadilan memupus. Aku tanya, kata siapa? dia menjawab 'LAYAR KACA".

Mediasi frekuensi publik, kini tak lagi menarik. Metamorfosis kesederhanaan, kini menjadi bahan hinaan. Penegak keadilan, kini menjadi bulan - bulanan. Musisi Jalanan, berdaulat sembarangan. Riuh, andaikan media sosial bisa berbicara. Serak, andaikan mereka tahu bahwa sudah habis pita suara mereka untuk berbicara. Hingar bingar, bukan, kali ini bukan untuk pergi ke pasar, kali ini hingar bingar kemenangan.

Maaf ku jenuh padamu, kalau ku boleh pinjam istilah itu. Bosan aku dengan penat dan tanya saja kau pekat, ingin ku pecahkan gelasnya sembari aku berlari kencang ke pantai. Iya pantai, disanalah deklarasi kemenangan ku bahwa aku bebas dari itu semua, semua sinyal layar kacaku hilang. Aku menang tanpa syarat yang mengikat. Aku hilang dari hingar bingar, AKU MENANG!

Layar kaca, sementara ini kau bagai istana. Layar kaca, kau sungguh tidak mau mengaca. Layar kaca, andai aku bisa menyentuhmu sehalus layar amoled, akan ku beningkan semua, akan aku ganti semua. Layar kaca, satu yang ingin aku tahu, kapan kau berkabar tentang jodohku disana?

Kamis, 10 Juli 2014

Tetiba Hilang



Langkah sore menuju pusat kota, mulai memadat dan mulai bersorak suara. Kini sendirian, Sang Pohon pejuang yang selalu dibicarakan. Tak ada kawan dan tak ada keluarga, kerabatnya kini diganti pedagang berkaki lima. Kaki yang digunakan untuk tatakan harapan disetiap keluarga. Keluarga yang nyaris tidak mengakui bahwa mereka warga kota ketiga. Kota yang selalu ditinggal insan pelita, kota yang selalu kesepian akan harapan, dan kota yang tenggelam.

Banyak keyakinan pada tiga hari sebelumnya. Pasukan berbaris dan berseragam katanya memadati pusat kota itu. Mengumbar janji dan harapan, tetap saja, sang pohon kesepian. Aku dengar kabar itu dari selembar kertas yang terpampang di setiap sudut, mereka berbicara, sayangnya mereka tak di perhatikan. Kalian tahu? mereka kalah dengan gadis belia bercelana warna warni. Diacuhkan dan hanya dijadikan persyaratan. Begitu awal aku berjalan di pusat kota Banjarnegara.

Baru ku sadari, tak ada yang menyapaku seperti 5 tahun lalu. 5 Tahun lalu, aku bagian dari kerajaan yang menyiksa pusat kota dan kini tiada yang menyapaku. Aku berjalan, tak ada satupun raut wajah yang pernah ku sapa sebelumnya. Tetiba aku melihat dibalik layarku, kini 2014. Tetiba tak ada yang menyapaku, tak ada yang merayuku, dan tak ada yang memandangiku seperti sedia kala. Ku aktifkan perangkat cerdas berukuran 10 inch, tetiba aku hilang, aku hanya hidup di linimasa, bukan di pusat kota, lagi.

Jumat, 04 Juli 2014

Telepati






"Telepati itu bualan, makannya Alexander Graham Bell ditakdirkan jadi penemu telepon"

Re (Supernova: Kesatria, Putri, & Bintang Jatuh)

Seberapa sering kau wanita harus menunggu telepatimu datang mengundang? seberapa lama waktumu habis karena terforsir oleh super egomu yang terus berbisik "nanti dulu, yakali kita ngabari duluan". Terus saja menunggu sampai mampus kalau begitu, lock - unlock - lock - unlock, begitu kan sekiranya jarimu menari ditengah gelisah dan keringat dinginmu mulai terkucur? oh ya, kalau di Mobile Phone jaman sekarang ini kan ada jam di setiap active mode? tuh makan tu waktu untuk menunggu. Terus saja berdoa melalui telepati, mau frekuensi AM atau FM? nanti dulu, telepati kan tak semudah itu (mulai membela diri akan kemampuan perasaan atas logika yang selalu diangung - agungkan).

Seberapa banyak kau pria mencari display picture wanita yang dewasa ini mulai berat karena kamera 360 terlalu banyak membawa bedak,  begitu putih. Mampus saja kalau kau terus menunggu foto setengah badan dengan dada di busungkan, terlihat bagus bukan? iya bagus, bagus dan selamat buat kamu yang telah memasuki kepalsuan baru dan diakui atas dasar nafsu. Mulai lah kamu mengelak bahwa itu telepati yang nyata, terangsang karena itu. Benarkah? itu telepati? coba kalau kamu tidak menyentuh mobile phone mu itu, masihkah kamu dapat bertelepati dan mengimajinasikan dia?(Bisa lah, pria itu kan kalau tidak mikir kesenangan pribadinya, pasti ada disekitar selangkangannya "bisiknya lirih")

Tiada habisnya logika hancur atas imajinasi tiap detik, menit, jam. Cukup, aku sendiri belum paham konsep itu. Ada yang bilang itu hanya imajinasi. Bagaimana mungkin imajinasi muncul atas logika? harusnya bebas dan dinamis, bukan terstruktur dan masuk akal? Lalu bagaimana dengan telepati? ada yang bilang bahwa jika bulu alis atau bulu mata jatuh manis diatas permukaan pipi manis, maka ada yang merindukan ku? itu telepati atau imajinasi atas telepati?Coba, coba aku hubungkan, karena telepati tidak dapat berdiri sendiri, harus ada penerima pesan didalamnya, sedangkan imajinasi, bebas. Aku terpejam, berfikir tentangnya, dan kemungkinan yang muncul adalah imajinasi. Kalau begitu, anugrah Tuhan mana yang aku dustakan? orang bilang aku sebagai manusia memiliki hati, tentu saja ada perasaan yang mengkontruksi telepati dan frekuensi untuk mengantarnya. Aku mulai lelah jika karena telepati dan frekuensi aku harus menunggu, sama saja aku menyimpan ide tanpa di ucapkan.

Memulai dengan deretan kotak yang kecil, kabari lah. Sekarang ada Line, We Chat, WA, Kakao Talk, Telegram, oh...oh....bahkan fungsi sebuah telepon yang mulanya diciptakan oleh Alexander masih tersedia. Bahkan sekarang sudah tersaji secara sempurna dengan QWERTY. Tunggu apalagi? tunggu dulu, aku masih terjebak pada keraguan ini, semuanya.

Kamis, 03 Juli 2014

Turbulensi





catatan: Sambil dengarkan pesawatku terbang ke bulan by Memes akan lebih meriah :)



Sudah 24 tahun lebih lamanya akhirnya aku mengakhiri rasa penasaran akan rasanya memiliki sayap. Esensinya adalah terbang dan menembus awan. Mulanya aku aku hanya bisa "motong abung njaluk uiteee..." (pesawat terbang,berikan aku uang), dan aku menjadi anak tiri ketika keluarga membahas tentang pesawat terbang, mengapa? tebak saja berdasarkan kalimat awalku. Bayangkan saat aku terbang dengan media Boeing, rasnya ingin selebrasi seberti Robin Van Persie, terbang!! Aku hanya berharap, kalian tidak menduga - duga apa yang akan aku lakukan, seperti kebingungan melepas sabuk pengaman.

Dibalik semua selebrasi itu, ada satu zal alir yang aku alami secara konstan, dia diberi nama turbulensi. Geraknya tidak beraturan, namun bisa di prediksi ketika bertemu awan. Perut kosongku selama dua jam terasa berteriak, seolah aku menggelitik usus dan lambungku, atau minimal aku menyamakan saat mengendarai kendaraan bermotor (termasuk mobil) selepas melewati jalan yang menanjak lalu mendadak turun, "Nyer" orang Jawa menyebutnya. Hanya satu organku yang konstan pula berdetak kencang, Jantung. Entah mengapa begitu cepat dan sembari sulit untuk menghirup napas dalam - dalam.

Gagasan langit biru yang selama ini diceritakan, aku lebih dekat melihatnya. Hamparan Indonesia yang hijau, aku lihat lewat celah berkaca selama Jakarta - Jogja. Tak lupa panduan doa dan cara menyelamatkan diri. Sebenarnya satu hal ini yang membuat imajinasiku buyar sesaat, gelembung - gelembung udara panik akan sorotan televisi tentang gagalnya sebuah penerbangan. Sempat kesal sesaat, tapi itu adalah bukti, bukan janji. Bukti bahwa mereka peduli akan keselamatanku. Peduli, iya peduli :)

Lagi - lagi turbulensi hadir ditengah rasa setengah yakin bahwa mereka peduli. Goyah, berdegup kencang lagi, lagi, dan lagi. Tak elok jika melihat ke bawah melalu celah, tak indah bila terus terpejam karena jantung ku mulai menghujam. Bisik berlari angan kembali, kaki bergetar tangan gemetar, mulut bergumam pikiran terdiam. Mulai lah dari kata terakhir, diam maka pesawatku akan terbang ke bulan. Iya, terbang ke bulan.

Turbulensi dalam bentuk sesi, fase, dan konteks. Turbulensi dalam bentuk manusia, perasaan, dan emosi. Turbulensi dalam bentuk pikiran, angan, dan imajinasi. Turbulensi ketika bertemu awan, oh tunggu dulu, sudah 24 tahun ternyata aku baru merasakan turbulensi. Pertanyaannya adalah kemana saja aku selama ini? Sebelum berfikir untuk menyusun rangkaian kalimat atau setidaknya berimajinasi untuk menjawab, aku hanya ingin terbang berkali - kali lagi, merasakan turbulensi seribu tahun lagi, dan berkata "lihatlah, aku sudah melihatmu dari ketinggian :)"

Rabu, 02 Juli 2014

Singkat Cerita dari Tangan

Hilang jari manis untuk melakukan "promise", lalu muncul kelingking untuk mengalahkan ibu jari. Ibu jari mengajarkan cara mengalah pada si kecil. Bukan permasalahan gajah kalah dengan satu semut atau ratusan semut, hanya sebagai asosiasi makna bahwa yang besar yang mengalah, yang besar yang mengajarkan. Perhelatan berlanjut pada jari telunjuk yang selalu mengorbankan dirinya. Bahkan acap kali jari tengah menjadi citra buruk bagi jari telunjuk yang berada di sebelahnya. Bila saraf mereka tergerak oleh frekuensi yang sama, bisa jadi jari telunjuk termakan oleh hasutan jari tengah.

Saat mulai mengepal, terlihat manis berjejer dengan pinangan di jari manis. Tentu saja manis untuk tersenyum, bukan manis untuk memukul. Garis - garis yang membentang dan konon bisa dibaca menjadi celah untuk  berjabat. Sesekali bisa dicoba untuk menerawang masa depan dari garis tersebut. Ada yang bilang menarik, ada pula yang bilang musrik. Kalau aku, sederhana saja, bolehkah aku lihat masa depanku yang tergenggam di tanganmu? :)