Rabu, 09 Oktober 2013

Sang Sepeda

Beribu kata dan menghujam pikiran merupakan sebuah pola yang sepertinya menjelma menjadi bahasa. Bahasa yang memiliki literatur untuk mengatur agar mudah mengulur alur yang masih simpang siur. Tak jelas kemana arahnya dan tak tahu apa maksudnya. Terkadang bermaksud memuji namun tertangkap basah menghina, terkadang bermaksud menghina namun sama sekali tidak tertindas oleh susunan kalimatnya. Semua seperti berbahasa kalbu yang mana harus lebih bisa dekat dengan komunikatornya agar mengerti maksudnya. Maksud yang mungkin hanya diinginkan secara tersirat dalam sebuah surat. Kali ini suratnya tidak perlu menunggu lama, tidak perlu lagi menunggu Sang Sepeda memasukan surat seperti sepuluh tahun silam dengan perangko yang selalu di koleksi oleh anak - anak oleh jaman itu.

Sang merupakan sebutan yang seolah sangat anugrah bagi yang di sebutnya. Sang seolah - olah juga merasuk pada sukma yang bernyawa, hampir tidak diperbolehkan untuk tidak yang bernyawa. Begitulah sekiranya Sang di perbolehkan setelah muncul dalam tatanan bahasa. Aku mencoba berfikir bahwa Sang adalah seperti The pada tata bahasa Inggris. Namun banyak sekali yang memperdebatkan itu. Ah, bagiku ketika mendengar dan melihat kata Sang aku hanya akan teringat pada Sang Kodok karena saat aku akan pulang sekolah dimasa berseragam kecil aku selalu menyanyikan itu. Aneh rasanya jika Sang selalu di perdebatkan dengan The untuk bahasa yang universal. Aku tidak akan peduli itu, aku hanya peduli bagaimana cara guru aku memberitahu padaku bahwa ketika aku menggunakan kata Sang maka aku akan menghormati hal itu. Baiklah pak guru yang sekarang sudah beristirahat dengan tenang, Sang yang telah kamu jamah di pikiranku akan tumbuh pada proses Sang yang berbeda dari Sang yang lain. Kali ini aku berfikir tentang roda dua yang sepertinya tidak pernah jatuh ketika kita jerujinya mulai berputar, rantainya mulai bergerak dari depan dan kembali lagi pada lingkaran besar dan kecil serta tajam. Iya, aku berfikir tentang Sang Sepeda, Sang yang memiliki seribu nyawa.

Sebelum aku memulai berfikir tentang Sang Sepeda, aku mencoba berdamai dengan apa yang ada di dalam roda dua yang selalu berputar. Aku mencoba memperhatikannya. Aku mencoba melihat dari posisi duduk ku saat aku mengayuhnya, lalu aku mencoba melihat juga saat orang lain ikut mengayuh. Mataku menangkap bahwa aku di kelabuhi sihir yang nyata bahwa roda dua itu mampu berjalan dari satu tempat ke tempat lain. Aku masih menganggap ini sihir karena saat pertama kali aku belajar untuk mengayuhkan ke dua roda tersebut, aku selalu di bantu oleh dua roda lagi yang lebih kecil. Aku masih tidak percaya mengapa hanya dua roda dapat berpindah pindah tempat. Hari demi hari pun terlewati dengan bantuan dua roda kecil di sampingnya dan kini menuju pada kondisi yang nyata bahwa aku harus belajar hanya dengan dua roda saja, tanpa bantuan si kecil. Akhirnya aku menyadari bahwa dua roda kecil itu seperti malaikat bagiku, dia membantu ku saat aku di mantra oleh kekagumanku akan roda dua yang bisa berpindah - pindah tempat. Malaikat yang selalu membantu aku bahwa aku harus percaya akan keajaiban alam yang setiap hari akan selalu aku temukan pada hari - hari berikutnya setelah ini. Dan aku harus siap menghadapi sihir yang lain, sihir yang akan semakin tidak masuk akal jika aku melihatnya sendirian karena aku akan berdamai dengan hal itu.

Setelah aku berdamai dengan pikiran itu, aku mulai lagi dengan kayuhan demi kayuh. Setiap hari aku kayuh, dari rumah menuju sekolah, dari sekolah menuju tempatku mengaji, dan dari tempatku mengaji aku kembali lagi pada rumahku. Begitu gembira setelah aku berdamai dengan pikiran itu. Pikiran yang dianugrahkan untuk ku agar aku mampu bertahan dari sihir - sihir lain setelah ini. Aku juga merasa bahwa dengan sepeda ini aku merasa lebih cepat dan kuat, aku belajar dari hal itu. Hal yang selalu membawaku pada tempat dimana aku harus mengisi otak yang katanya tak akan pernah mampu di kuasai oleh manusia sepenuhnya. Aku sempat tidak percaya dengan mitos bahwa Einstein hanya menggunakan sepersekian persen otaknya dari jumlah 100% yang dimiliki. Lalu dimana puluhan persen yang lain?sebegitukah otak itu diciptakan? apakah adil jika di ciptakan namun tak dapat di gunakan? saat itu pula aku mulai tersihir lagi dengan ungkapan - ungkapan yang ada di dalam kelas.

Ungkapan - ungkapan yang semakin misterius untuk ku ketahui itu pun selalu bermunculan. Cara munculnya pun bak sim salabim aba kadabra, tiba begitu saja. Seperti halnya salah satu temanku yang sedari dulu hanya diam ketika melihatku yang seolah berdiskusi dengan buku. Mungkin temanku itu penasaran dengan raut mukaku yang semakin suram ketika membaca satu persatu maksud dari penjelasan setiap buku tersebut. Ia tiba dihadapanku dengan senyum manis yang lebar. Tetiba aku membayangkan sosok putri yang selalu di sebut dalam kisah Sang Kodok yang selalu di nyanyikan di kelas sebelum pulang. Setelah aku menatap cukup lama dan dia tersenyum dihadapanku, ia mulai dengan menyapa aku. Sungguh suara yang tak pernah aku duga sebelumnya. Aku yakin saat itu pula bahwa tak ada kain meskipun itu kain sutra untuk di umpamakan lembut dan halus suaranya.

Aku sadar bahwa dia adalah satu - satunya gadis yang mengayuh sepeda ketika berangkat ke sekolah. Gadis yang selalu menggunakan keranjang sepedanya sebagai tempat tas. Itu berbeda dengan ku karena sepeda yang aku gunakan tidak ada ranjangnya. Ketika aku tanya mengapa ia lebih suka menggunakan keranjangnya, ia hanya menjawab:
"aku begitu menyukai keranjang ini karena ibu dan ayahku yang memasang keranjang ini".
Ah..aku berfikir pula bahwa dia adalah anak kesayangan orang tuanya. Tapi biarlah, itu menjadi urusan dia karena dia yang menikmatinya. Lalu dia tanya pula kepadaku:
"kenapa setiap kamu membaca buku teori kamu selalu suram? ada yang aneh?"
Sontak aku seperti menjilat ludahku sendiri, aku paham dengan apa yang dia maksud. Dia jelas menanyakan kepadaku juga bahwa itu adalah kebiasaanku. Aku menyimpulkan bahwa apa yang aku tanyakan dan apa yang dia tanyakan sebenarnya terjadi pada satu pola, itu hanya basa - basi belaka agar kita lebih dekat. Iya, basa - basi. Basa - basi pun ternyata sudah muncul sedari aku kecil. Entah itu datangnya dari mana dan bagaimana cara aku mempelajarinya. Yang jelas apa yang tadi aku dan gadis itu tanyakan hanyalah basa - basi. 

Tak biasanya sepulang sekolah dia mengajak aku untuk mengayuh sepeda bersama. Aku pikir ini masih pada tahap basa - basi juga. Namun sepertinya dia begitu serius untuk mengajakku singgah di rumahnya. Tak jauh dari jangkauan kayuhanku ternyata aku dan dia sudah sampai dirumahnya. Rumah yang begitu sederhana namun tampak asri karena ada mahkota yang tertanam berwarna - warni. Mahkota bumi yang sering di hinggapi oleh lebah dan mungkin sebagian oleh kumbang di taman. Disamping halaman yang asri ternyata ada sekotak ruang yang di penuhi besi dan rangkaian sepeda. Ternyata orang tua gadis itu adalah kolektor sepeda dan sangat menyukai sepeda. Tidak menunggu lama, gadis itu mengajakku untuk berkunjung ke ruangan tersebut. Ruangan yang ukurannya kurang lebih hanya 5x6 meter persegi ini menyimpan begitu banyak jenis sepeda.

Begitu banyak sepeda yang mahal harganya, namun aku heran mengapa si gadis itu tetap memilih sepeda sederhana yang berkeranjang, bukan sepeda sport yang menawan. Aku masih tetap bingung walaupun dia sudah menjawabnya tadi. Ketika aku sedang melihat sepeda yang tertata rapi itu, ada pria berparas tampan yang mendekat kepadaku dan mengajakku untuk bersalaman. Dia ternyata menanyakan namaku dan memperkenalkan dirinya adalah ayah dari gadis itu. Setelah pria itu berkenalan denganku, gadis tadi pun mendekatiku dan mengatakan:
"ayahku mengumpulkan sepeda - sepeda ini semenjak dia belajar latihan sepeda waktu kecil lo" sembari dia tesenyum kecil dan mengurai rambutnya yang lurus. Ucapan Gadis itu di respon senyum simbul lalu dia dicium dibagian kening oleh ayahnya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Beberapa hari kemudian setelah aku semakin dekat dengan si gadis, aku makin penasaran dengan apa yang ada di sekitarnya. Mulai dari buku yang dipilih hingga kenapa dia tetap memilih sepeda sederhananya itu. Acap kali aku bertanya tentang kebiasaan dia setelah pulang sekolah, namun dia selalu menjawab dengan cara yang sangat dingin. Seolah dia sedang menyusun rencana untuk menunjukan sesuatu yang berbeda kepada dunia. Ya, dunia yang semakin banyak irama dan konteks yang semakin menjelma menjadi konten - konten kepentingan pribadi. Pada konten sepeda itu pula aku masih berfikir tentang konteks apa yang aku pikirkan ketika melihat sepeda beroda satu.

Rasa penasaran ini semakin tak terbendung. Aku mencoba untuk mengikuti dia setelah pulang sekolah. Berjelaga pada kayuhan yang tak bersuara dan rasa berpaling yang luar biasa agar aku tetap terjaga dari pandangan dia. Pandangan yang tak boleh lepas sedikitpun karena rasa ini semakin membesar. Lalu di sudut gang,aku mencoba berhenti dan memperhatikan apa yang dia lakukan. Ternyata dia menukar sepedanya dengan yang roda satu. Roda yang menjadi jelmaan ketidakseimbangan bagiku saat pertama kali aku melihat di garasi sepedanya.

Tangan kanan membelai kursi sepeda, tangan kiri mengepal pada rangkaian yang kecil dan kedua kakinya berjaga - jaga agar dia tidak jatuh. Perlahan dia gerakan kedua kakinya, tidak di pungkiri juga kaki kanan selalu mengawali dia untuk berada di pedal sepeda itu. Anehnya, apa itu tetap akan di sebut sebagai sepeda jika hanya punya satu roda?dimana letak keseimbangannya?bukankah seimbang itu jika dilihat dari dua sisi? seperti itulkah tanyaku sesaat ketika melihat si gadis berirama dengan sepeda roda satunya. 

Gadis juga mencoba melanglang buana dengan sepeda roda satunya. Sepertinya ia sudah terhasut oleh kemandiriannya untuk bersepeda dengan roda satu. Aku pun kembali mengikutinya secara perlahan, benar - benar perlahan. Aku tidak ingin keberadaankau menjadi momok buat dia. Aku paham bahwa dia tidak ingin banyak orang yang tahu karena dia memilih jalur yang tidak biasa di lewati oleh banyak orang. Melewati jalan pinggir sungai irigasi tidaklah mudah karena kemungkinan dia bisa bertemu dengan segerombol hewan yang di cap sebagai hewan pemalam sedunia. Terkadang mungkin dia juga akan bertemu hewan paling disiplin sedunia ketika begitu banyak pasukan dan tetap bisa berbaris. Aku masih menduga bahwa ini semua pasti mengandung sebuah cerita. Sekali lagi, dia menggunakan sepeda roda satu.

Akhirnya pada satu tempat dimana dia berkelana, dia berhenti  mengayuhkan pedal roda satunya. Aku masih penasaran dengna cara dia "men-standarkan" sepedanya. Ternyata si gadis hanya menggunakan sisi batu untuk melakukannya sehingga sepeda roda satu tetap berjaga - jaga. Setelahnya dia jalan perlahan kedepan, lalu muncul sosok wanita yang begitu cantik. Aku berfikir bahwa dia akan berlatih sesuatu yang sangat rahasia di tempat seperti ini. Namun dari kejauhan pula,wanita itu ternyata menuntun sepeda roda satu juga. Sama persis dengan apa yang di tunggangi oleh si gadis. Hingga akhirnya mereka berdua terlihat seperti sedang beradu kesenangan menggunakan sepeda roda satunya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kesekian hari setelah aku melihat hal itu, aku mencoba memberanikan diri untuk bertanya kepada si gadis saat berada di dalam kelas. Awalnya aku agak ragu karena aku takut mengganggu apa yang ingin dia rahasiakan atau lebih tepatnya aku sangat takut kalau aku di anggap sebagai penguntit. Tapi biarlah, biarlah karena aku begitu penasaran mengapa dia bisa sebegitu jauh mengayuhkan pedal dengan roda satunya. Namun saat aku mencoba mendekat, dia hanya berkata
"kemarin ibu ku melihat kamu ada di sebrang arah, kenapa kau tak sempatkan untuk memanggilku?" kata si gadis.
"oh..mungkin aku terlalu terburu buru, jadi aku ga sempat menyapamu" jawabku.
"oh,jadi makna dari terburu-buru saat ini sudah berganti ya. Yang tadinya hanya lewat saja menjadi memperhatikan sepanjang ada?" jawab dia.
aku tak tahu harus menjawab apa dan mencoba untuk memberikan senyum terbaikku agar aku tak begitu malu.
"sudahlah, apa yang ingin kamu tanyakan sudah aku jawab pada tugas puisi nanti. Akan ku pastikan jika aku menyusunnya dengan benar agar kamu tahu jawabannya dengan benar" jawab dia sembari tersenyum lebar dan mengedipkan satu matanya.
Perlahan aku mundur selangkah untuk meraih gagang kursiku. Duduklah aku agar aku lekas hilang dari rasa malu.

Beberapa menit kemudian guru Bahasa Indonesia masuk, dan mempersilahkan si Gadis untuk maju membacakan puisinya. Sepertinya kali ini dia begitu percaya diri tak seperti hari - hari biasanya. Namun ketika dia mulai membaca bagian judul "Sang Sepeda" Aku tersontak diam, aku mencoba melihat ke arah buku yang yang letaknya tidak begitu jauh dari dagu ku saat aku duduk. Aku dengar apa yang dia ucapkan sama persis dengan apa yang aku tulis di buku Bahasa Indonesia ku, Sang Sepeda. Kala itu aku memang selalu merenung dengan kata - kata sang karena begitu banyak perdebatan diantaranya. Aku benar - benar tak menyangka jika gadis itu ternyata juga memperhatikanku, bahkan hingga apa yang aku tulis. Lalu mataku kembali tertuju pada gadis itu dan memperhatikan apa yang dia ucapkan.

                             Sang Sepeda

Jikalau kau masih muram, kau tak pernah paham
Paham tentang kalimat - kalimat yang menantang
Cobalah kau untuk duduk secara tegak
Saat kau melihat coretanmu sendiri

Aku akan datang seperti peri
Peri yang memiliki tongkat sakti
Bukan untuk merubah, namun untuk mengubah
Bukan hanya sekedar berlari, namun berbagi

Jikalau engkau masih bingung mengapa aku memilih sepeda itu
Aku akan tetap menjawab bahwa keranjang menjadi faktorku
Tak usahlah kau pedih dalam memahami sebuah kata
Kata yang akan membuat benda itu memiliki jiwa

Meskipun hanya satu yang berputar
Itu tetap bisa berirama
Bahkan tetap bisa membawaku keliling dunia
Meskipun awalnya aku harus menghadapi pasukan termalas di dunia

Satu yang berputar dan satu yang berkeranjang
Aku sudah berfikir bahwa itu sangat lengkap
Aku sudah di beri tumpangan yang jauh dari kata sempurna
Aku hanya menyerahkan asa ku saja

Keduanya berhati lembut
Meskipun harus bergantian memakainya
yang satu selalu mencium keningku
yang satu selalu bermain denganku

Caranya berbeda, jalannya berbeda
Namun keduanya sama-sama menyukai roda
Ku anggap itu adalah suatu kata yang sempurna
Jika aku tuliskan dengan sepeda, Sang Sepeda

Setelah gadis itu membacakan puisinya ia menuju kearahku. Seolah suara gemuruh tepuk tangan di dalam kelas menjadi back sound ketika menghampiriku. Dengan senyum yang lebih riang dan terkesan lebih mantap ia duduk disebelahku dan berbicara:

"awalnya aku murung ketika aku harus bergantian menggunakan sepeda itu. Tapi keadaan membuat aku harus belajar tentang makna kesempurnaan. Sempurna itu ketika kita bisa menjadikan apa yang di sekitar kita memiliki jiwa. Seperti yang aku alami, meskipun aku tidak bisa lagi menikmati kasih sayang secara bersamaan oleh orang tuaku, aku tetap bisa merasakan kesempurnaan apa yang selalu mereka kasih. Cukup keranjang yang ada di depan sepedaku adalah benda nyata bahwa mereka berdua selalu menampungku di hatinya. Hanya saja kini mereka harus berpisah, sehingga aku harus menjadi kuat seperti sepeda roda satu ku itu. Secara besar terlihat sendiri, namun sebenarnya roda satu itu tetap memiliki dua pedal yang beriringan agar aku tetap bisa mengayuh. Dan aku menyadari bahwa setiap iringan pedal itu tidak berada pada posisi yang sama, Itulah orang tuaku, itulah Sang Sepeda bagiku".

Entah mengapa apa yang gadis itu ucapkan membuatku benar - benar terdiam. Selama ini aku hanya merenungkan tentang kata Sang sebagai bentuk kata bantu agar benda hidup dapat lebih berkesan. Tapi nyatanya si gadis justru memberikanku gambar yang berbeda. Dia menggunakan Sang untuk menghidupkan benda yang mengingatkan akan kesempurnaan kasih sayang kedua orang tuanya meskipun telah berpisah. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa Sang - Sang yang lain akan dia munculkan kembali.