Melihat layar kaca, semua sudah porak poranda. Menengok layar kaca, semua sudah tersogok bandar. Menelisik layar kaca, semua sudah terpeleset oleh lidah buaya. Lidah buaya? benar saja, itu yang paling disukai wanita, banyak manfaatnya. Lidah buaya, semua mulut pria bersinergi erat dengan nya. Kembali lagi, pulang saat gelap di lingkaran mata sudah mengepung, ayah berkoar bahwa keadilan memupus. Aku tanya, kata siapa? dia menjawab 'LAYAR KACA".
Mediasi frekuensi publik, kini tak lagi menarik. Metamorfosis kesederhanaan, kini menjadi bahan hinaan. Penegak keadilan, kini menjadi bulan - bulanan. Musisi Jalanan, berdaulat sembarangan. Riuh, andaikan media sosial bisa berbicara. Serak, andaikan mereka tahu bahwa sudah habis pita suara mereka untuk berbicara. Hingar bingar, bukan, kali ini bukan untuk pergi ke pasar, kali ini hingar bingar kemenangan.
Maaf ku jenuh padamu, kalau ku boleh pinjam istilah itu. Bosan aku dengan penat dan tanya saja kau pekat, ingin ku pecahkan gelasnya sembari aku berlari kencang ke pantai. Iya pantai, disanalah deklarasi kemenangan ku bahwa aku bebas dari itu semua, semua sinyal layar kacaku hilang. Aku menang tanpa syarat yang mengikat. Aku hilang dari hingar bingar, AKU MENANG!
Layar kaca, sementara ini kau bagai istana. Layar kaca, kau sungguh tidak mau mengaca. Layar kaca, andai aku bisa menyentuhmu sehalus layar amoled, akan ku beningkan semua, akan aku ganti semua. Layar kaca, satu yang ingin aku tahu, kapan kau berkabar tentang jodohku disana?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan di Respect