Masih terukir dengan rapi dalam ingatanku bahwa 13 hingga 15 tahun yang lalu aku begitu terinspirasi sosok "Simba". Ya, anak tunggal dari sang raja Mufasa yang menduduki Pride of Rock. Aku masih teringat dengan jelas peran Timon dan Pumba yang bernyanyi "awimboweeeb...awiboweeeb....in the jungle, the mighty jungle....the lion sleep tonight" saat mereka berteman dengan Simba yang baru kehilangan ayahnya. Serta istilah Hakuna Matata yang diperkenalkan oleh Timon dan Pumba agar Simba bisa beradaptasi dengan kehidupan barunya. Atau mengingat sosok jahil nan ekspresif yang dilakukan oleh Rafiki si Baboon tua. Sungguh lengkap rasanya jika mengingat para hewan bisa berbicara dan bernyanyi, seolah otak kananku saat berseragam putih dan bercelana merah tidak memiliki beban apapun. Bebannya hanya satu, jika hari libur tidak bertamasya ke kebun binatang maka imajinasiku akan sosok Simba hilang seketika.
Beberapa waktu lalu, dunia juga di gemparkan oleh cerita Richard Parker --nama Harimau Benggala-- yang menemani Piscine Molitor atau yang menyebut dirinya sebagai Pi (dalam bahasa Perancis memiliki arti kolam renang) selama hampir 150an hari dalam sekantung sekoci yang terapung di lautan. Kisah - kisah mengenai hewan yang seolah bisa berbicara terus dikemas dengan baik oleh pebisnis - pebisnis otak kanan menggunakan matanya sebagai hati dan hati sebagai tangannya.
------------------------------------------------------------------------
Bagiku, kebun binatang dan tamasya merupakan satu susunan frasa yang seolah memang dijodohkan oleh Tuhan. Begitu banyak satu kesatuan yang tersusun didalam struktur jeruji besi yang beratapkan awan. Seiring dengan selimut awan, roh - roh gading besar dan mamalia selalu bersemayam pada ketenangan yang agung. Selalu ada kelembutan dalam cakar yang tajam, selalu ada keramahan pada belalai yang panjang, dan selalu ada keindahan dalam kerasnya raungan macan. Itulah yang aku rasakan saat mengingat kebun binatang dimasa kecil. Bahkan aku hampir kebingungan siapa temanku yang sebenarnya, karena aku hampir tidak pernah merasakan sedih saat berkunjung ke kebun binatang.
Daerah tempat tinggal ku memang tidak se-elok Yogyakarta dengan Gembira Loka nya dan semegah Jakarta dengan Taman Safari nya. Namun daerah ku dialiri oleh sungai yang selalu belajar dari pengalaman, yakni sungai serayu. Diawali dari hulu yang begitu sempit dan goncangan yang kecil hingga perjalanan menuju hilir yang begitu lebar dan deras. Paung --salah satu temanku yang pernah menjabat menjadi ketua Setra (pecinta alam kampus)-- pernah menjelaskan padaku bahwa Grade sungai serayu berada di tingkat kesulitan 10, artinya memiliki tingkat kesulitan yang tinggi untuk menaklukkannya. Bukan untuk ditaklukkan atau untuk ditakuti, namun dinikmati. Ya, dinikmati!!!. Aliran sungai serayu melewati cagar satwa yang ada di kota ku,yaitu Serulingmas.
Mungkin beberapa teman kampus ku tidak menyangka kalau kota ku --dimana banyak sekali yang tidak tau letaknya-- memiliki kebun binatang yang tak kalah megahnya dengan Taman Safari dan Gembira Loka. Tapi itu terjadi 13 tahun yang lalu saat peresmian Serulingmas. Begitu luar biasa di era nya, saat hal itu berlangsung, aku dan teman - teman kecil ku seperti mendapatkan amplop lebaran saja. Bagaimana tidak, hampir setiap minggu pagi, aku dan teman - temanku mencari jalan pintas untuk bisa masuk ke Serulingmas. Hal ini bisa terjadi karena aku menganggap bahwa saat itu, Serulingmas adalah mini surga yang masih bisa di jangkau dengan keadaan hidup.
Pertanyaannya adalah "memang nya sekarang bagaimana??". ya, pertanyaan - pertanyaan itu hampir muncul disetiap benak generasi 90an yang menikmati imajinasi kecilnya di Serulingmas. Kaget, terkejut, tatapan kosong, misuh - misuh (marah - marah), dan diksi lain yang memiliki pemahaman yang sama pasti spontan akan muncul saat melihat kondisi Serulingmas saat ini. Besi berkarat, dinding berlumut, jalan retak - retak, air berwarna hijau keruh, dan jiwa - jiwa liar yang terlihat menjadi pengecut. Semua tak sama, benar - benar tak sama. Imajinasiku tentang Simba hilang setelah melihat kurus dan keringnya rambut singa. Seolah sang raja Pride of Rock tak pernah sedikitpun menginjakan kaki di altar air seperti yang terjadi di kawasan matahari yang terang.
Aku mencoba berjalan ke arah yang berlawanan, aku mencoba menemukan si ramah yang punggungnya rela dinaiki oleh kumpulan anak gembala yang mementingkan kebahagiaan nya. Awal ku pandang belalai panjang yang membentang, lalu aku melihat telinga panjang yang riang. Riang dan bentangan itu terasa sangat berbeda sekarang. Tak ada lagi sorakan anak gembala seperti dulu kala, tak ada lagi antrean membentang panjang hanya untuk mengelus jambul mini yang ada di depan punggung. Sekarang yang ada hanyalah rantai keras dan pendek. Membuat gerakan dan nafsu liar nya terbatas. Ya, benar - benar terbatas. Lebih menyedihkan lagi, zat yang memiliki satuan watt telah menyebabkan "Pasangan Belalai" itu menjadi duda. Entah apa yang ada di pikiran orang - orang yang di kebun binatang saat ini.
Sesaat aku ingin menjadi Timon dan Pumba yang memiliki motto Hakuna Matata. Namun aku tidak memiliki taring dan hidung besar seperti Pumba, aku juga tidak memiliki badan yang kecil dan mulut yang lebar untuk memakan ulat seperti Timon. Aku hanya memiliki Jambul dan jerawat yang selalu aku urus setiap hari. Dari ketidakdayaan ku itu, aku hanya mencoba beralih profesi menjadi aktor persuasi untuk mengumpulkan imajinasi - imajinasi yang hidup di era 90an. Aku masih percaya bahwa roh halus dan aliran sungai serayu selalu senantiasa menjadi musik bagi penghuni jeruji besi Serulingmas. Aku kumpulkan imajinasi dengan memainkan musik didepan orang - orang yang berkeringat dipagi hari. Aku kumpulkan imajinasi agar susunan kalimat bisa dibawa kepada altar air sehingga Simba mau menginjakan lagi kakinya. Namanya #CintaSelamanik. ya, Selamanik. Aku dan anak gembala menyebut Serulingmas adalah Selamanik :)
Dan sebagian anak gembala di era 90an menjadikan mereka yang ada di balik jeruji besi Serulingmas bisa lebih dekat dengan anak gembala versi di versi digitalisasi ini. Mereka dihadirkan didalam kelas yang akan menjadi tujuan mereka selama 5 jam yang dimulai dari jam 7 Pagi itu. Semua demi mengembalikan imajinasi liar di era 90an. Semua kondisi berubah menjadi ambisi. Imajinasi digusarkan dengan realisasi yang bersikeras dengan otak kiri sehingga banyak otot yang berlari di otak kanan menjadi mati. Semoga saja anak gembala itu bisa menjadi sosok Timon dan Pumba pada era Digitalisasi ini."Hakuna Matata! It's Mean Don't Worry" :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan di Respect