Aku sedang ingin menangkap angin yang melintas di depan mataku meskipun aku tak mampu melihatnya lebih dari per sekian detik. Angin itu mengajak aku untuk terus berlari berlawanan arah dengan jarum jam. Berlawanan dengan memutarnya matahari. Angin itu tidak peduli bawa sesungguhnya putaran ini hanya kamuflase, efek dari perputaran bumi. Aku berdiri dengan asap yang aku hembuskan dan aku terus mengenggam makna aku berdiri sendiri. Lalu aku bertanya dengan penyebrang jalan di depan rumahku, "mengapa engkau menyebrang jalan?mengapa engkau tidak lurus saja sampai tujuanmu?mengapa harus menyebarng di depan rumahku?disini kan berbahaya untuk menyebrang jalan." Dia hanya menjawab " Bis nya biasa berhenti di situ mas, kalau saya nyebrang disana nanti saya ketinggalan bis."
Ternyata dia hanya ingin mengejar bis yang berhenti di depan rumahku. Dia tidak memikirkan betapa bahayanya menyebrang jalan di rumahku. Bukan karena jalan yang ramai atau lalu lintas yang padat, tapi karena disitu aku tidak peduli dia menyebrang. Aku sedang bermain petak umpet dengan angin. Itu yang membuat berbahaya. Karena dia sudah tua, tulangnya sudah lapuk dimakan usia. Tapi dia ingin tetap menyebrang disitu, dan aku tetap bermain dengan angin.
Aku berbalik arah dan menutup mataku, aku berbisik pada angin dan menanyakan apakah dia sudah pergi? tentu saja tidak ada jawaban seperti manusia menjawab. Angin hanya menjawab dengan aroma, aroma "nginang" yang sudah tidak tercium lagi. Itu pertanda dia sudah pergi. Aku balikan badanku lagi dan aku memandang ke arah dimana orang tua itu seharusnya berhenti menunggu bis. Ternyata sudah tidak ada, ternyata angin menjawab lagi dengan warna asap hitam di dekat tempat itu. Pertanda dia sudah pergi dengan kekasih yang dia tunggu didalam bis lapuk nya juga.
Aku berjalan langkah perlangkah untuk terus berbalik arah. Aku rasa angin ini mulai mempermainkanku. Bahkan ia mempermainkan bayangan pohon yang tertanam rapih di depan rumahku. Aku tak tau mengapa angin terus menggoyangkan ranting dan menjatuhkan dedaunan yang sudah berwarna coklat tua, tidak lagi muda. Ternyata angin ingin berbicara kepadaku, bahwa yang sudah tua, pasti akan jatuh kebawah jika angin yang mempermainkannya. Sedangkan yang muda akan tetap bersinar dengan embun pagi dan senja sore.
Aku semakin tidak paham karena matahari semakin mencintai senja. Dia terus mengejar senja yang sudah duduk manis di tempatnya. Lalu aku kembali menghembuskan asap dari tembakau ku, asap itu pun kembali di permainkan oleh angin. Arahnya tidak jelas, kesana - kemari. Lalu akan menatap ke atas dan mengadu pada awan, mengapa angin menjadi seperti itu di saat - saat senja. Ternyata angin hanya ingin menangis, karena waktunya habis bersamaku. Angin menangis karena saat senja itu juga mereka kalah oleh hujan, yang selalu menghangatkanku dengan rindu. Angin seolah pergi begitu saja karena hujan rindu yang hadir di depan rumahku. Ternyata angin yang sedari siang hanya mencari perhatianku, karena dia tahu bahwa dia akan ditinggalkan aku karena hujan rindu. Tapi angin tak pernah tahu, bahwa saat dia bermain denganku, aku selalu tersenyum lebar. Tidak menangis seperti saat hujan rindu menemaniku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan di Respect