Rabu, 01 Agustus 2012

Kutu - membaca - Buku

                                                        ********************

"tidak usahlah kamu seolah membaca apa itu arti hakikat karena pada dasarnya kamu tidak pernah secara sistematis diajarkan apa itu hakikat.....tidak usahlah kamu seolah membaca apa itu arti hakikat ketika kamu kamu bisa berjalan di pesisir rambu - rambu lalu lintas dan keramaiannya.......tidak usahlah kamu pura - pura melirik beranda pada majas hiperbola untuk melihat resensi - resensi katulistiwa yang seolah kamu bisa tuangkan pada lembar HVS....sudahi sajalah karena itu semua butuh pengakuan....itu semua butuh kearifan....."

Sepertinya angin yang baru saja berhembus kencang menyambangi lantai tiga dengan tiga anak tangga membawa butiran - butiran kalimat yang tak terjaga. Bagaimana mungkin bisa terjaga jika selama hampir 14 jam harus berpuasa dan hanya diberi kesempatan untuk menguyah dengan asam garam yang tersedia di rongga mulut. Itu semua sepertinya memang alasan semata. Sempat beberapa kali aku mencoba merenungi apa yang aku jelajah, simpel saja menggunakan alamat - alamat yang dituliskan dalam bentuk sedikit rumit. lihat saja : 

http///www.blablabla.com/blog/blablabla/blablabla/ID/1234456787890

Aku membayangkan jika alamat itu digunakan untuk mencari alamat di desa - desa maka yang ada hanyalah ayu tingting bersama gaya korea - koreannya menyanyi alamat palsu. Kecenderungan untuk menikmati sebuah gaya tata bahasa dan daya persuasi terkadang tidak mampu untuk dijamah seseorang dalam membaca sebuah susunan kalimat. Entah slogan apa yang bisa membuat orang begitu percaya bahwa buku itu adalah jendela dunia. Jika buku itu jendela dunia, maka orang - orang hanya mampu melihat isi dunia dari dalam ruang yang terkungkung sepi makna. Ya,makna itu seolah digiring untuk membuat pengertian bahwa seseorang hanya mampu melihat pada sebuah ruang hampa. Mengapa tidak saja dibuat slogan buku adalah alamat dunia, atau buku adalah kendaraan dunia. Sepertinya itu lebih aktif untuk membawa seseorang datang ke suatu tempat yang dibaca olehnya.

Lebih parah lagi kecendurang orang yang seenaknya menjustifikasi bahwa "jendela dunianya" itu adalah yang maha dahsyat dan maha benar. lalu dimanakah letak keagungan Al Qur'an, Al Kitab? dan AL AL yang lain -yang pasti bukan Al El Dul- mengapa tidak diresapi terlebih dahulu mana yang tersirat makna dan tersurat makna? Ya karena itu semua bersifat sistematis. Sistematis selalu menjadi kendala ketika seseorang belajar untuk membaca. Orang hanya ingin mengetahui secara singkat dan cepat sehingga seolah - olah ia sudah mampu merangkum apa yang ia baca. Menarik bukan bahwa faktanya media baru (internet) mampu membentuk sebuah aktivitas baru yakni "bacalah tulisannya lalu kamu akan pintar". Aktivitas ini seolah menggrayangi pikiran - pikiran para penikmat media baru.

Tidak hanya pada media baru, ku pikir banyak sekali proses resepsi pesan dalam membaca sebuah susunan kalimat memunculkan persepsi unik. Lihat saja beberapa buku - buku yang mendasari sebuah asumsi. Buku - buku yang mendasari sebuah logika, buku - buku yang mendasari sebuah fenomena bahkan terjadinya sebuah wilayah,Maha dahsyat bukan?!

Sebenarnya aku hanya belajar untuk berfikir lebih jernih dan jeli dalam melihat setiap susunan kalimat. bagaimanapun setiap susunan kalimat memiliki unsur subyektifitas dari penyusunnya. Coba bayangkan jika kita tidak melakukan sistem filter pada diri kita sendiri dalam membaca sebuah susunan kalimat, akan ada berapa puluh ribu MLM bermunculan dan akan berapa puluh ribu orang  akan menjadi pengangguran demi membuktikan dirinya bahwa secara pribadi dan swasta mampu menghidupi diri nya tanpa memikirkan modal sepeserpun?Istimewa sekali penulis - penulis masa kini mampu membentuk gerakan massal baru seperti itu.
                                                   ********************

Banyak hal yang terkadang membuatku prihatin terhadap perkembangan cara orang untuk memahami sebuah makna. Jujur saja banyak motivator yang lupa untuk memberi tahu bahwa sebaiknya dalam membaca buku itu perlu didasari hati yang jernih dan pikiran yang terbuka. Mengapa harus hati yang jernih? karena semua itu pada akhirnya akan berimbas kepada pembaca. Semakin membuka susunan kertas buram semakin banyak titik koma yang dimaknai. Untuk memaknai itu sendiri perlu menyatukan keharmonisan otak dan mata dalam melihat keserasian antara buku dan apa yang dilihatnya. Buku seolah - olah selalu menjadi mentor pribadi bagi setiap pembacanya. Aku mulai berfikir ulang untuk memaknai susunan kalimat dalam buku sesuai dengan pengalamanku. Terlalu membaca buku terkadang memiliki sikap justifikasi atau menghakimi sesuatu secara semenan - mena. Padahal kita tidak sadar bahwa penulis buku memiliki pengalaman segudang untuk menceritakan dan membutuhkan proses untuk menjustifikasi sesuatu. Apakah pembaca secara serta merta mampu mengaplikasikannya?tentu saja tidak -menurutku-. Apapun itu selalu butuh proses, tindakan yang layak ditunjukan untuk merespon apa yang telah dibaca.

Maka sebutan kutu buku pun terkadang cocok bagi orang - orang yang tidak memiliki sistem filter pada dirinya sendiri. Ya, makna kutu sebagai sesuatu yang menjijikan pun akan terlihat dari justifikasi yang dilakukannya. Jadi bacalah buku dengan memperhatikan susunan kalimat dan akan lebih baik jika dibandingkan dengan beberapa tulisan atau karya penulis lain agar pemahaman bisa dicerna dan dijadikan salah satu unsur motivasi melakukan sesuatu. Kalau kata beberapa dosenku si "jangan percaya dengan satu buku saja, bacalah yang lain untuk membandingkan pemikirannya sehingga kamu bisa memilih mana yang cocok dan tepat kamu ambil sebagai dasar berfikir logis mu"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan di Respect