Bagiku pukul 16.00 WIB atau yang dikenal dengan "jam papat sore" ditelinga orang jawa adalah waktu dimana angin berhembus cukup kencang dan kemungkinan membawa serpihan sisa - sisa panasnya siang hari di lantai 3 kos patria. Apalagi kalau bukan seperangkat dekstop yang dipenuhi warna hitam dan paper art yang berdiri tegak diatas PC bertuliskan "semoga...semoga...semoga....", semua itu penuh doa. Tabir - tabir doa selalu dipanjatkan oleh anak - anak manis manja yang berkumpul mengumandangkan keinginan mereka untuk membaca sebuah karya sastra paling istimewa di dunia. Bagaimana tidak,suara kencang mereka selalu beriringan dengan suara tertawa saat mengajak teman sebayanya membaca karya sastra paling istimewa itu. Aku berhenti sejenak ketika kotak hitam yang menyerupai seperangkat desktop ku bergetar. Kotak hitam buatan Canada itu menggoyangkan tubuhnya agar mencuri perhatian kedua bola mataku. Tanganku segera beranjak untuk mengambil kotak hitam yang sudah tidak bermuka.
".............. Calling (sebut saja hasan). Aku lupa bahwa kotak hitam itu terlalu populer untuk masa kini sehingga getaran yang dibuatnya cukup membuat layar menjadi bergelimpang garis - garis layaknya sebuah layar televisi yang teralu panas. Ku pikir orang - orang Canada itu terlalu serakah sehingga aku menjadi korban dengna harga 3,2 juta dan layar yang bergaris - garis ini menyambut getaran telfon itu. Sejujurnya daun telingaku sudah tidak lagi ingin merasakan sengatan listrik kecil dari speaker yang tersedia,namun karena itu hasan maka aku menekan tombol hijau sembari tersenyum ke arah layar dekstop.
Hasan : "halo dir...priwe kabare" (halo dir,gimana kabarnya)
Aku : "Alhamdulillah sehat, ko kepriwe nang kono?sing semangat san" (kabarmu bagaimana disitu?yang semangat san)
Hasan : "iya kie lah,nyong wis entek - entekan, ora due sangu...ko dolan ngene si ngapa"(Iya ini,aku sudah tidak punya apa - apa lagi, kamu mbok ya main kesini)
Aku : "hahaha,iya san,ngapure lah ya,ndilalah nyong lagi skripsi trus jadwal ketemu dosen mandan angel dadine ya cok ora bisa ngepasnya karo jam besuk nang kono" (hahahah,iya san,maaf ya,kebetulan aku sedang mengerjakan skripsi dan jadwal untuk ketemu dosen sedikit sulit sehingga aku kadang ga bisa ngepasin dengan jadwal besuk disitu"
Hasan : "iya lah ko ngereng banget tak enteni ka ora tau dolan kene"(iya lah,kamu sombong banget,aku tungguin kok ga pernah main kesini)
Aku : "iya kie lah,bocah - bocah priwe san?cok pada besuk ora?ko jan wis entek - entekan?"(anak - anak sering jenguk kamu nggak?kamu beneran udah ga punya apa - apa lagi disitu?)
Hasan : "iya dir bocah - bocah ora tau mrene blas,nyong mbok ditiliki karo gawakna apa lah sing bisa tak pangan. Nyong dongakna ya men ana perubahan nang kene. hehehe" ( iya dir, temen - temen ga pernah kesini lagi sama sekali. aku mbok ya dijenguk sama bawain apa lah yang bisa ku makan. aku minta doanya agar aku disini bisa berubah.hehehe)
Aku : "pasti buoss,,pasti tak doakan. Ko sing sabar ya karo kudu tetep berusaha. ko ora tau telfon bocahan pa?"(pasti bos, pasti ku doakan. kamu yang sabar disitu dan harus tetap berusaha. kamu ga pernah telfon anak - anak?)
Hasan : "lah,wis pada kelalen mbok,paling ya isin ndue kanca kaya kie,hehe"(lah,paling - paling mereka sudah lupa,mungkin malu kali punya teman sepertiku,hehehe)
-berlanjut ke beberapa percakapan dan akhirnya percakapan selesai-
lima belas detik aku pejamkan mata dan mataku berisi bulatan-bulatan putih yang tersusun seolah ada cahaya kamera dengan flash "menjepret" pada mataku. Aku mencoba meng-sinkronkan antara pikiran, egoisme, dan kembali mengingat percakapan. Ah..tentu saja aku ingat bahwa pagi hari sebelum hasan menelfon saya terdengar dengan keras pada TOA Masjid sebelah. Pada dasarnya aku sangat menyukai pidato yang disebut KULTUM, tapi pagi itu KULTUM serasa VAKUM karena teks yang dibaca oleh orang yang tegak dimimbar adalah sebuah kesalahan yuridis bagi kaum terdakwa. Tengoklah pada artis NOAH yang karismatik itu, bagi orang yang berbicara dengan lantang dan tegak itu sekali di bui tidak berarti. Tentu saja aku ingat mengapa artis NOAH itu bisa masuk pada jeruji besi.
Aku mencoba berfikir sedikit tenang dengan santapan bakwan kawi plus pisang ijo yang siap berselancar di lambungku. Mengapa harus ada justifikasi jika Allah mengetahui mana yang benar dan mana yang buruk? Mengapa harus ada yang seolah benar ketika ia setiap hari datang ke tempat ibadah?Mengapa harus ada aroganisme ketika Ayat Suci sudah menuliskan karya terindah di Dunia?Anehnya mengapa kaum - kaum yang beruntung "benar" tidak mencoba untuk melihat kemungkinan takdir yang disediakan oleh Allah?bukankah takdir itu disediakan dan terkadang kita tersandung dalam mengambil takdir itu?
Mungkin apa yang dirasakan Hasan dan artis NOAH itu memiliki sifat naluriah. Bukan maksud aku untuk memaklumi, aku hanya ingin sedikit memahami bahwa bagaimanapun juga mungkin hingga saat ini aku masih beruntung mengambil takdir yang "benar". Aku mencoba membuka karya sastra terindah itu dan mulai membaca dengan tata baca yang "benar" pula. Garis - garis memberiku petunjuk untuk melantunkan secara merdu(entah itu merdu bagi telinga teman kos atau tidak). Aku beruntung juga masih dipercaya hasan sebagai kawan untuk bercerita. Aku beruntung pula masih bisa makan bakwan kawi dan es pisang ijo sebelum berfikir.
Aku sedikit berfikir bahwa untuk berdiri tegak dan berbicara lantang didepan mimbar merupakan sebuah tanggung jawab hati. Tak perlu memikul seberat tukang bangunan, hanya saja menjaga dalam bersilat lidah bahwa orang jeruji besi mungkin tersandung dalam mengambil takdir. Mungkin juga orang bui adalah seniman hidup yang mau belajar dari kesalahan. Seniman bukan berarti orang yang pintar melukis, bernyanyi, baca puisi, atau sebagainya. Seni-man juga bisa berarti seni dalam satu kesamaan iman dimana orang - orang mampu melukiskan indahnya berbagi pemahaman pada kaum seiman, bisa juga seni bagi freeman(orang - orang bebas) yang merubah dirinya untuk menjadi lebih "benar". Mungkin jeruji besi menjadi salah satu media nya. Jadi, sudahkah kita bersyukur telah mengambil takdir yang "benar" dan sudah kah kita memahami bahwa ada media bagi seniman yang begitu perkasa yakni jeruji besi? you choose.
Teringat dengan beberapa pemahaman yang dituliskan ANDREW TOLSON mengenai mediasi. Semua butuh teks, semua butuh konteks, dan semua menghasilkan sub-teks sesuai pengamalan masing - masing individu. Jika jeruji besi merupakan media seni merubah diri bagi orang - orang yang tidak beruntung dalam mengambil takdir, mungkin juga terdapat solusi - solusi seni untuk berbagi.