Memutuskan untuk membicarakan
mengenai retorika berarti akan sedikit banyak bersentuhan dengan kuasa
pemahaman klasik yang di miliki Aristoteles. Begitu klasik dan menarik, begitu
menggebu – gebu bagai kaum cendekiawan yang di arak keliling desa ketika pulang
dengan bersandang “Cumlaude”.
Retorika tentang bahasa, tata cara berbicara, penyampaian maksud, dan mengapa
orang dapat memiliki sistem bawah sadar yang baik untuk menyusun sebuah kalimat
untuk di utarakan. Begitu Einstein menemukan kekhawatiran tentang teknologi
akan membuat orang terhilat idiot, disitu pula retorika mulai beralih mejadi
modernisme dengan berbagai macam kepunahan. Benar saja jika kepunahan itu mulai
muncul perlahan karena kedekatan antar sesama manusia semakin ter mediasi oleh
benda berbentuk persegi panjang dengan nama Mobile
Phone. Namun bukan disitu intisarinya, itu hanya penekanan semata terhadap
maksud retorika secara dangkal (mungkin saja), sebenarnya disini akan berbicara
bahwa si Bontot (anak terakhir dalam sebutan Jawa) mencoba bermain dengan
retorika.
***
Kala itu sekitar peralihan bintang
Pisces menuju Aries, malam hari dengan di penuhi sesak karpet lipat yang
berseragam kuning, Dirga tiba di rumah romantis Djoko dan Lily dengan keadaan
yang terhuyung – huyung karena sorenya melakukan lari bundaran GSP dengan 6
kali putaran. Lelah, terjelembab pada pergantian suhu udara Yogyakarta –
Banjarnegara membuat Dirga berekspektasi bahwa membaringkan badan adalah hal
yang paling logis kala itu. Apa daya sebagai seorang anak Bontot yang notabene
selalu dianggap paling “hijau” diantara saudara – saudari kandungnya,
ekspektasinya harus tertunda sementara demi melayani khalayak yang sudah
bergumam sedari tadi menanyakan kemana saja Dirga selama ini. Prosesnya di
Yogyakarta membuat dirinya seolah tak berdaya, sudah terhuyung – huyung, dicerca
banyak pertanyaan pula. Sungguh malang nasib anak Bontot itu. Tak perlu
menjawab lama, Dirga membawa nampan berisi teh dan kopi panas sebagai bentuk
pendekatan dan untuk memulai negosiasi secara manusiawi terhadap masyarakat
beribu kepentingan tersebut.
***
Pendekatan menggunakan nampan berisi
cangkir – cangkir kopi dan teh ternyata tidak terlalu berhasil. Pertanyaan demi
pertanyaan mulai bermunculan bagai pelatuk MP7 yang tertarik dari tempatnya
bersandar. Berhamburan tak beraturan, bahkan untuk menyusun satu persatu
pertanyaan yang tercecer pun sulit karena setiap pecahan pertanyaan itu selalu
tersambung nan erat. Bodoh, iya bodoh. Sebodoh tupai lompat berkali – kali karena
akan jatuh juga pada akhirnya. Belajar bahasa Inggris merupakan sesuatu yang
sangat bodoh dalam forum tersebut. Mengapa tidak belajar bahasa asing yang lain
saja? China misalnya, Dirga bisa mendapatkan kekayaan melimpah dengan bahasa
itu. Begitu meyakinkan bahwa belajar bahasa Inggris di usianya yang menginjak
seperempat abad adalah hal yang bodoh. Ternyata hipotesis awal Dirga terhadap
sikap penanya adalah kekayaan yang berdasarkan kesetaraan kekuasaan.
Sesederhana itu, memiliki uang yang cukup untuk menggapai keinginan yang
menguasai naluri dan nafsu hati. Oh tunggu dulu, Dirga hampir lupa, hampir saja
melupakan alasan mengapa karpet berwarna kuning. Warna tersebut adalah sebagai
simbol kekuasaan sedari Orde baru. Sangat kental dengan nuansa patuh terhadap
atasan. Begitulah sekiranya posisi Dirga sebagai anak bontot. Ketika
menggunakan belajar bahasa Inggris sebagai proses ternyata hanya menjadi
lelucon hierarki tua karena tidak menghasilkan pendapatan yang cukup, cukup
untuk mengumpulkan suara aspirasi.
***
Posisi duduk bersila membuat Dirga
semakin tidak nyaman. Kakinya terlilit diantara kerasnya kayu mahoni yang sudah
dipermak dengan pernis. Pantatnya bergerak macam cacing kepanasan, kupingnya
mendengung bagai mendengar suara klakson yang blingsatan di Jakarta, matanya
berair bagaikan embun pagi yang lelah mengudara di malam hari, mulutnya
berdenyut seperti tertimpa ciuman mesra(malang bagi kalian yang belum pernah
merasakannya karena sulit untuk membayangkan), tanganya mencoba untuk menggapai
pemahaman yang serupa dengan khayalak yang duduk di karpet kuning. Mencoba
memahami alasan orang di sekitarnya dan mulai menyesuaikan kemampuan berfikir
orang di depannya yang sedang berbicara lantang dan tak mau di potong. Kenapa? Dia
berkuasa dengan sekumpulan domba dan sapi yang siap di jual. Siap di jual untuk
melengkapi biaya mahar calon wakil rakyat yang terhormat. Calon wakil rakyat
yang terhormat pun mulai mengutarakan rasa risauannya selama ini. Dimana Dirga?
Apa yang Dirga lakukan? Bahasa Inggris macam apa sampai membuat dirinya acuh
terhadap proses ku? Mungkin kurang lebih seperti itu perasaan khalayak di
sekitar Dirga.
Sekali lagi hanya karena bontot,
tuntutan hormat terhadap sulung harus di berikan. Kekeluargaan mulai diukur
dari seberapa banyak kontribusi terhadap sebuah proses menuju kekuasaan.
Anehnya, proses kekeluargaan secara konotasi selama ini hanya menjadi kamuflase
pagi dan pendinginan di malam hari. Bontot tak berdaya dalam majemuk langka,
susunan tangan yang sedari tadi dijelaskan kalah dengan mahalnya harga sapi dan
domba. Penjelasan tentang belajar bahasa Inggris di tentang habis – habisan.
Ucapan mulut yang coba di utarakan, bahkan di timurkan, di selatankan, dan
baratkan sekaligus tak mampu menahan daya gelombang semangat khalayak di karpet
kuning.
Bontot berarti ekor, patuh terhadap
kepala yang berisi otak untuk menentukan arah. Bontot berarti tak bisa
menjelaskan keinginan kepala karena sekalinya terputus hanya akan hilang.
Seperti ekor cicak, akan tumbuh ekor – ekor yang lain setelahnya. Bontot
berarti paling muda, posisi yang sangat enak untuk di jadikan pesuruh kakak –
kakaknya. Namun bontot berbahaya, karena bontot menyerap segala ketidakadilan
yang dilakukan oleh kakak – kakaknya. Melihat dari sisi yang lebih humanis.
Bontot mencoba beretorika setelah itu.