Sial, ternyata
Dirga menikmati rasa sakit yang sangat melilit pada uluh hati. Setiap detak
jantung dan detik waktu menjadi nikmat anomali nikotin. Sisi – sisi tulang rusuk perlahan bergetar menggerakan
tubuh untuk gusar agar terbangun dari kasur yang sangat tipis. Begitu tipis
karena semua perhatiannya masuk kedalam kotak suara kakak pertama. Begitu tipis
sehingga kemampuan untuk bermimpi bagi anak ketiga begitu sulit, begitu
terkekang oleh udara yang menghimpit di sela – sela tegel kamar berdinding tiga
kali empat. Tak ada waktu untuk berdiskusi dengan udara malam, Dirga mulai
menjejakan kakinya pada tumpukan sepatu kumal yang tertumpuk rapih. Tumpukan
sepatu yang harganya menjulang tinggi karena di kasih manis tanpa asam oleh
orang berbisnis yang hanya menjadi pemanis di mulut.
***
Ujarnya akan
menghentakan kaki pada dinding dini hari yang malang, namun kuasa diri tak
tahan untuk menyangga berat badan yang semakin membuncit untuk ukuran jiwa
tersiksa. Sudah tersiksa, buncit pula. Dirga memutuskan untuk menghentakan kaki
pada skala seperlima kuda besi yang malang melintang sejauh 1579 km. Oh, tunggu
dulu, niatnya tidak untuk menyamakan jarak yang sudah ditempuh, niat Dirga kala
itu hanya untuk menghilangkan rasa gusar yang mengganggu kenikmatan
bermimpinya.
***
Termenung pada
jalan kosong nan melintang ara, bercak – bercak sisa dunia malam bagi pemuda
pemudi sepertiga malam terlihat pada deretan pedagang pagi. Gigi demi gigi
mulai berganti, harapan mulai menyelundupi kalbu, satu per satu keinginan
terbuka untuk menuju daerah timur. Timur ring road utara tercetus ketika
mendengar bisikan penyiar ruang hampa. Maju berjajar pada lintasan yang sudah
berstandar APILL. Hiruk pikuk mulai menyepi dan Dirga benar – benar sendiri
ketika memasuki plang Candi Ratu Boko dan Candi Ijo. Petugas malang melintang
untuk melarang laju keinganan menikmati pagi di Candi Ratu Boko. Dulu, mereka
hanya melihat Candi sebagai rangkaian seni, kini mereka melihat daya tarik
magis dan mengharuskan menggunakan “sarung” Candi. Kemudian Dirga terdiam pada
standar kuda besi yang telah di hentikan, bernegosiasi dengan diri sendiri
untuk memutuskan kemanakah akan mengalihkan sakit hati karena mimpi yang begitu
tipis dan mulai terkikis oleh candu kepentingan Historis yang Hierarki.
***
Sudahlah, Dirga
tak mau lagi berekspetasi untuk menajdi pengganjal rongga lubang anak ketiga.
Dirga mulai berfikir bahwa Candi Ijo di seberang arah dan bertepatan dengan
hari bahagia Siti dan Wahyu di daerah itu. Lurus terus untuk mencapai puncak
manis yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Terlihat sosok Candi menyendiri
yang berdekatan dengan kabut lembut. Cahaya dari ufuk timur menghapus sakit
hati dan Dirga tidak berfikir sementara untuk menikmati pagi. Menjadi pagi
sebagai alternatif ciptaan Tuhan yang sejajar, sempurna, dan di beri nikmat
yang sama. Dirga, candi, alam, kabut, hijau, dan Jalan yang panjang untuk pagi
ini.