Minggu, 01 Juni 2014

Retorika Si Bontot


Memutuskan untuk membicarakan mengenai retorika berarti akan sedikit banyak bersentuhan dengan kuasa pemahaman klasik yang di miliki Aristoteles. Begitu klasik dan menarik, begitu menggebu – gebu bagai kaum cendekiawan yang di arak keliling desa ketika pulang dengan bersandang “Cumlaude”. Retorika tentang bahasa, tata cara berbicara, penyampaian maksud, dan mengapa orang dapat memiliki sistem bawah sadar yang baik untuk menyusun sebuah kalimat untuk di utarakan. Begitu Einstein menemukan kekhawatiran tentang teknologi akan membuat orang terhilat idiot, disitu pula retorika mulai beralih mejadi modernisme dengan berbagai macam kepunahan. Benar saja jika kepunahan itu mulai muncul perlahan karena kedekatan antar sesama manusia semakin ter mediasi oleh benda berbentuk persegi panjang dengan nama Mobile Phone. Namun bukan disitu intisarinya, itu hanya penekanan semata terhadap maksud retorika secara dangkal (mungkin saja), sebenarnya disini akan berbicara bahwa si Bontot (anak terakhir dalam sebutan Jawa) mencoba bermain dengan retorika.
***
Kala itu sekitar peralihan bintang Pisces menuju Aries, malam hari dengan di penuhi sesak karpet lipat yang berseragam kuning, Dirga tiba di rumah romantis Djoko dan Lily dengan keadaan yang terhuyung – huyung karena sorenya melakukan lari bundaran GSP dengan 6 kali putaran. Lelah, terjelembab pada pergantian suhu udara Yogyakarta – Banjarnegara membuat Dirga berekspektasi bahwa membaringkan badan adalah hal yang paling logis kala itu. Apa daya sebagai seorang anak Bontot yang notabene selalu dianggap paling “hijau” diantara saudara – saudari kandungnya, ekspektasinya harus tertunda sementara demi melayani khalayak yang sudah bergumam sedari tadi menanyakan kemana saja Dirga selama ini. Prosesnya di Yogyakarta membuat dirinya seolah tak berdaya, sudah terhuyung – huyung, dicerca banyak pertanyaan pula. Sungguh malang nasib anak Bontot itu. Tak perlu menjawab lama, Dirga membawa nampan berisi teh dan kopi panas sebagai bentuk pendekatan dan untuk memulai negosiasi secara manusiawi terhadap masyarakat beribu kepentingan tersebut.
***
Pendekatan menggunakan nampan berisi cangkir – cangkir kopi dan teh ternyata tidak terlalu berhasil. Pertanyaan demi pertanyaan mulai bermunculan bagai pelatuk MP7 yang tertarik dari tempatnya bersandar. Berhamburan tak beraturan, bahkan untuk menyusun satu persatu pertanyaan yang tercecer pun sulit karena setiap pecahan pertanyaan itu selalu tersambung nan erat. Bodoh, iya bodoh. Sebodoh tupai lompat berkali – kali karena akan jatuh juga pada akhirnya. Belajar bahasa Inggris merupakan sesuatu yang sangat bodoh dalam forum tersebut. Mengapa tidak belajar bahasa asing yang lain saja? China misalnya, Dirga bisa mendapatkan kekayaan melimpah dengan bahasa itu. Begitu meyakinkan bahwa belajar bahasa Inggris di usianya yang menginjak seperempat abad adalah hal yang bodoh. Ternyata hipotesis awal Dirga terhadap sikap penanya adalah kekayaan yang berdasarkan kesetaraan kekuasaan. Sesederhana itu, memiliki uang yang cukup untuk menggapai keinginan yang menguasai naluri dan nafsu hati. Oh tunggu dulu, Dirga hampir lupa, hampir saja melupakan alasan mengapa karpet berwarna kuning. Warna tersebut adalah sebagai simbol kekuasaan sedari Orde baru. Sangat kental dengan nuansa patuh terhadap atasan. Begitulah sekiranya posisi Dirga sebagai anak bontot. Ketika menggunakan belajar bahasa Inggris sebagai proses ternyata hanya menjadi lelucon hierarki tua karena tidak menghasilkan pendapatan yang cukup, cukup untuk mengumpulkan suara aspirasi.
***
Posisi duduk bersila membuat Dirga semakin tidak nyaman. Kakinya terlilit diantara kerasnya kayu mahoni yang sudah dipermak dengan pernis. Pantatnya bergerak macam cacing kepanasan, kupingnya mendengung bagai mendengar suara klakson yang blingsatan di Jakarta, matanya berair bagaikan embun pagi yang lelah mengudara di malam hari, mulutnya berdenyut seperti tertimpa ciuman mesra(malang bagi kalian yang belum pernah merasakannya karena sulit untuk membayangkan), tanganya mencoba untuk menggapai pemahaman yang serupa dengan khayalak yang duduk di karpet kuning. Mencoba memahami alasan orang di sekitarnya dan mulai menyesuaikan kemampuan berfikir orang di depannya yang sedang berbicara lantang dan tak mau di potong. Kenapa? Dia berkuasa dengan sekumpulan domba dan sapi yang siap di jual. Siap di jual untuk melengkapi biaya mahar calon wakil rakyat yang terhormat. Calon wakil rakyat yang terhormat pun mulai mengutarakan rasa risauannya selama ini. Dimana Dirga? Apa yang Dirga lakukan? Bahasa Inggris macam apa sampai membuat dirinya acuh terhadap proses ku? Mungkin kurang lebih seperti itu perasaan khalayak di sekitar Dirga.
Sekali lagi hanya karena bontot, tuntutan hormat terhadap sulung harus di berikan. Kekeluargaan mulai diukur dari seberapa banyak kontribusi terhadap sebuah proses menuju kekuasaan. Anehnya, proses kekeluargaan secara konotasi selama ini hanya menjadi kamuflase pagi dan pendinginan di malam hari. Bontot tak berdaya dalam majemuk langka, susunan tangan yang sedari tadi dijelaskan kalah dengan mahalnya harga sapi dan domba. Penjelasan tentang belajar bahasa Inggris di tentang habis – habisan. Ucapan mulut yang coba di utarakan, bahkan di timurkan, di selatankan, dan baratkan sekaligus tak mampu menahan daya gelombang semangat khalayak di karpet kuning.

Bontot berarti ekor, patuh terhadap kepala yang berisi otak untuk menentukan arah. Bontot berarti tak bisa menjelaskan keinginan kepala karena sekalinya terputus hanya akan hilang. Seperti ekor cicak, akan tumbuh ekor – ekor yang lain setelahnya. Bontot berarti paling muda, posisi yang sangat enak untuk di jadikan pesuruh kakak – kakaknya. Namun bontot berbahaya, karena bontot menyerap segala ketidakadilan yang dilakukan oleh kakak – kakaknya. Melihat dari sisi yang lebih humanis. Bontot mencoba beretorika setelah itu.