Jumat, 31 Mei 2013

Pelukan Hangat dari Gumpalan Asap di Malam Hari

Ada yang sedikit aneh di bulan ini. Bukan karena namanya yang tidak pasti, tapi manusianya itu sendiri yang bertingkah dan membuat peraturan dengan alam. Bukan kah alam tak pernah menjawab iya atau tidak nya tentang kesetujuan dengan peraturan yang di buat oleh manusia? Sudah jelas semuanya bahwa manusia selalu membuat peraturannya sendiri. Semua ulah manusia, semua berkat berkah otak yang tak terbatas pencapaiannya.
-----------------------------------------------------------------------------------------------

Malam hari, kursi menjulang tinggi, dan layar 14 inch menyanyi menjadi salah satu agenda setiap hari. Bongkahan keramik yang telah di ukir dan gumpalan asam manis manja yang keluar dari mulut juga menjadi agenda setiap hari. Merokok lah! itu yang aku pikirkan tentang menikmati malam hari. Kebiasaan ini mulai merasuk dalam alur diri seperti mengunggah komunikasi yang terus berdikari. Pikirku tak pernah lekang dari tangan kanan yang memeluk erat batang tembakau ini. Sudah terbiasa, itu menjadi bagian dari rasa yang tidak pernah mati.

Tidak semua orang bisa menikmati asap ini, bahkan ayah saya sebagai pengepul asap pun masih risi jika mendengar aku berperilaku sama dengan nya. Entah apa yang terjadi pada sirklus tembakau ini. Aku tidak pernah paham tentang apa yang dipikirkan tentang menghargai, bukankah setiap hak asasi itu perlu dihargai? cobalah tengok lebih dalam tentang bagaimana arus tembakau ini menghidupi negri ini. Masih kah ada yang berbicara mengenai hak asasi? atau sekedar memperkuat citra diri sebagai orang yang sehat dan tidak merugikan orang lain? Merugikan orang lain itu bukan berasal dari asap bung! merugikan orang lain itu berasal dari hati dan pikiran. Coba masing - masing dari diri kita mulai mengambil alih apa arti yang sebenarnya dari hak asasi. Cukup berfikir itu saja, semua sudah diatur dan memiliki perannya masing - masing.
-----------------------------------------------------------------------------------------------

Asap ini terus berlari hingga embun pun entah ingin tahu siapa sebenarnya yang di nanti. Bukan teman bagi kopi atau saudara di pagi hari. Bisa saja saudara sehidup semati dengan panggilan alam yang selalu membuat para manusia berceceran berebut kamar mandi di pagi hari. Tembakau ini tidaklah membuat mati. Tembakau ini tidaklah membuat manusia menjadi - jadi. Itu semua hanya gumpalan asap belaka. Sopan, etika,semua dikalahkan oleh kepentingan yang bernegoisasi dengan kesehatan. Tak semua yang sehat juga mampu berdikari tampa tembakau yang semakin hari di lokalisasi ini. Aku tidak bergumam sebagai harga mati. Hanyalah kenikmatan belaka untuk saat ini, saat sendiri, saat berteman dengan angin di malam hari. Bukan terlalu serius juga bukan menganggapnya begitu mulus. Silahkan saja di caci wahai kalian yang tak mengerti. hari ini aku menghormati, hari ini aku meyakinkan diri tentang buaian perintis bisnis kesehatan. Hanya saja aku masih menikmati kopi diatas gumpalan asap hingga hari ini. Jika suatu saat mati, mungkin itu sudah menjadi kondisi yang berlabuh bersama konsekuensi. Tidak perlu di pungkiri, tembakau ini telah membangun negri ini.


Kamis, 30 Mei 2013

"Kita Harus Putar Film!!!!" kata remaja masjid

Begitu banyak para pemuja kreatif yang mengangkat tubuh mereka dan menghabiskan setiap tetes keringat keras mereka pada kemacetan dan tantangan hidup. Begitu banyak dari mereka yang harus berjuang untuk mengalahkan kecemasan mereka sendiri pada hiruk pikuk roda dua yang entah dikemanakan etikanya. Semua berfikir tentang realitas dan mimpi. Semua itu benar - benar nyata, dalam kota impian yang segala nya ada. Lalu bagaimana dengan kota yang tidak pernah mereka impikan sama sekali? tidak adakah sedikit saja langkah surga untuk menikmati hal yang sama? Semua bisa sama, cuma cara menikmatinya yang berbeda. Dan sekali lagi para remaja masjid membuat realitasnya sendiri. Menantang impiannya mereka sendiri, bahkan rela untuk meneguk ludah mereka sendiri melihat impian mereka yang begitu banyak di kota impian. Satu hal dari remaja masjid. Mereka selalu berusaha untuk menciptakan realitas mereka sendiri, karena mereka sudah terlalu jenuh dengan sebutan "kota mati". Semua kota hidup, semua kota bernyawa, dan semua kota bisa saling berirama. Hanya saja caranya yang berbeda, itu saja.

    ----------------------------------------------------------------------------------------------------

Antrean begitu panjang membentang ketika aku dan beberapa kawan kuliahku mencoba untuk terus menikmati sebuah karya layar lebar dari negri yang memiliki tembok bernama. Begitu rela dari kami semua menghabiskan energy demi menyaksikan efek studio dan kemahiran para juara layar kaca untuk bersitegang secara alur di kertas, sekalipun beberapa kali dari mereka mencoba mengimprovisasinya sesuai dengan bentuk penjiwaannya. 

Sesaat setelah kepulanganku ke kota asal yang terkesan mati. Justru aku dikejutkan oleh banyaknya investasi. Bukan dalam bentuk materi, tapi dalam bentuk mimpi yang menjulang tinggi. Mimpinya bukan untuk di gapai, tapi untuk dinikmati. Ini sungguh kenikmatan yang aku rasakan sebagai orang yang hidup di kota mati. Begitu banyak antusiasme dari penikmat layar lebar dan penyusun naskah layar lebar hingga secara eksekusi. Mereka semua menikmati caranya mereka untuk membuat mimpi yang menjulang tinggi ini benar - benar hidup di benak mereka, sungguh!

1. GunungDiana
Pemutaran di daerah GunungDiana
Daerah ini termasuk daerah "pedalaman" di wilayah Banjarnegara. Banjarnegara saja sudah terhitung pedalaman jika dibandingkan dengan kota besar seperti yang kalian tinggali saat ini. Namun itu hanyalah secara administratif dan formalitas belaka. Sejatinya disini tumbuh hasrat yang besar dan bakat - bakat yang luar biasa. Lihat saja para orang yang katanya pedalaman ini, justru mereka sangat menikmati karya - karya sederhana yang bermakna. Mereka tidak membutuhkan efek terbang dan ban berputar seperti film Batman atau efek alam buatan yang ada di film avatar. Yang mereka butuhkan sederhana sekali, bisa membuat mereka tertawa dan kumpul bersama. Berteduh ditengah dinginnya malam dan menikmati sebuah layar lebar dan pastinya tidak perlu mengantri panjang :).  Disisi itu, para pembuat skrip layar lebar menemukan makna untuk berbagi ide dan gagasan. Itu saja. Seperti yang ada di dalam kenikmatan bumi timur ini, berkempul dan menikmati karya secara sederhana. Sungguh luar biasa GunungDiana ini. sungguh!

2. Semampir

Pemutaran Film di  desa Semampir

Hadi Saputra "Ringgo" dari IKJ sebagai salah satu kreator "kita harus putar film"

Proses Diskusi setelah penayangan film indie

Menengok agak lebih ke belakang. Banyak sekali diantara manusia istimewa yang meninggalkan kota ini rela untuk kembali dan berbagi kasih melalui layar lebar. Mereka tidak peduli dengan apa yang sedang mereka hadapi saat ini, jarak yang jauh dan biaya yang tidak murah. Mereka "trabas" itu semua, mereka hanya memikirkan bagaimana caranya agar karya para sineas muda lokal dan penikmat "kumpul bersama" bisa menikmati sebuah layar lebar yang bermakna. Tidak perlu berbondong - bondong semua, cukup bagi mereka yang mau menikmatinya dengan ikhlas dan berkumpul bersama. Cukup dengan sound "rumahan" dan kursi "RT-an", mereka semua diajak duduk bersama dan berdiskusi. Tentang karya sineas negri mereka yang katanya mati. Si Ringgo ini salah satu diantara puluhan REMAJA MASJID yang memilih jalan ke surganya melalui cara seperti ini, sedekah dengan keikhlasan ngobrol bersama tentang film. Sederhana saja, tapi sangat mengena.

3. Sokanandi

Persiapan acara pemutaran

Saat pemutaran berlangsung

Bayangan tentang impian itu semakin terlihat nyata. Setelah world of mouth versi jawa bertindak, kini banyak para relawan kebahagiaan dari desa meminta agar mereka bisa berkumpul dan menikmati sebuah karya bersama. Mereka ingat di tahun 80an ketika mereka berbondong - bondong menuju alun - alun kota hanya untuk melihat film dari jakarta. Para relawan kebahagian dari desa dengan sarung style nya merindukan hal itu. Diajaklah para remaja masjid untuk menambah pundi - pundi amal mereka. Kali ini desa Sokanandi yang menjadi tempat beramal remaja masjid. Terkejut? pastinya. Siapa sangka mind set orang bersarung itu begitu membara. Andai saja mind set itu masih tersebar secara cetar membaha di seluruh desa di Banjarnegara, yakinlah para remaja desa siap memotong sapi untuk perhelatan akbar seperti ditahub 80an dulu. Menancapkan layar lebar ditengah alun-alun kota. Namun saat ini mereka punya cara sendiri untuk berkumpul. Dengan film, mereka akan berkumpul dan berbondong - bondong untuk film. Sederhana saja, film mengumpulkan kisah cinta mereka pada era keemasan mereka. Mengumpulkan mereka kembali dengan kenangan nyata. Semua berkumpul, semua bergurau, dan semua menikmati layar lebar sederhana.


4. Kita Harus Putar Film supported by Festival Film Solo

para penikmat layar lebar sedang mengisi data

salah satu karya yang masuk di FFS yang ditayangkan

Pemateri dari kang Bowo Laksono dan Hadi "Ringgo" Saputra

Proses Diskusi setelah pemutaran


Melihat begitu banyak antusias dari kegiatan - kegiatan sebelumnya. Para Remaja Masjid memberanikan diri untuk menampilkan karya yang tidak seperti biasanya. Karya - karya yang diseleksi melalui sebuah festival akbar di Solo, ya.. Remaja Masjid mencoba memberanikan diri untuk memutar karya - karya maha dahsyat itu. Untuk memberikan referensi tentang bagaimana cara sederhana mereka selama ini dan memberikan motivasi bahwa karya sederhana mereka bisa di teteskan keringatnya untuk berprestasi. Mas Galih --salah satu inisiator Kita Harus Putar Film-- mengajukan permohonan kepada panitia Festival Film Solo untuk meminta data karya yang masuk dan akan diputar di salah satu tempat yang nan asri, Pikas namanya (Pinggir Kali Serayu). Alhasil di ijinkan oleh pengurus Festival Film Solo untuk mengadakan pemutaran di Banjarnegara.

Selain itu, diajak juga pembicara yang sudah menjadi mbahnya film indi yang tinggalnya tidak jauh dari kota ini. Kang Bowo Laksono. Istimewa sekali! Dalam keadaan hujan dan jarak yang jauh, Kang Bowo rela untuk berbagi. Dia menceritakan semua yang telah dia lakukan selama ini agar para penikmat layar lebar bisa memahami dan mengerti seluk beluk proses dibalik layar lebar itu dan bagaimana agar mereka bisa memproduksi. Ditambah laki secara teknis oleh Hadi "Ringgo" Saputra yang sudah semakin mahir dari hari ke hari tentang teknis pembuatan film di IKJ.

Pemutaran saat itu di dedikasikan untuk para pencari kebahagiaan sederhana melalui layar lebar. Kegiatan pemutaran itu juga menjadi salah satu partisipasi nyata bagi siapa saja yang ingin berproduksi. Sederhana saja, karya ini bukan untuk dibawa mimpi saja, namun harus dibawa terbang tinggi. Film merupakan mediasi yang sangat sederhana untuk berekspresi. Dari layar lebar itu, bisa menjadi layar keemasan dan berkilau di hati kita masing - masing. Untuk para penikmat yang berproduksi, ini merupakan moment pembuktian bahwa karya film indie sangat bisa membangun asa dari hal sederhana menjadi hal luar biasa. Untuk para penikmat layar lebar, ini merupakan momen dimana mereka bisa berkumpul dan menikmati teh bersama dengan sinar begitu terang di depannya, lalu ngobrol asik dengan sesama penikmat. Bukankah hal sederhana itu tadi selalu membangun sebuah era?tentu saja. Para penikmat yang berproduksi tadi telah membuat era yang luar biasa!


Remaja masjid tidak berhenti sampai titik ini saja, nantikan episode pemutaran selanjutnya dan ulah para remaja masjid yang selalu mencari peluang untuk menuju surga :)


Rabu, 29 Mei 2013

Tujuh Bait Satu Rasa

Terhalang untuk membentang tinggi seperti pencakar langit
Semua ingin mendahului dan memuncaki satu sama lain
Semua ingin memiliki semua dari semua yang ada
Tak peduli ada lampu merah disana

   Hilang, sesaat, terdiam, sunyi, gemerlap, hingar bingar
   Berputar seperti komedi putar di taman malam
   Berputar membelakangi kuda - kuda yang terdiam
   Hanya bisa naik turun, hanya bisa belok sesuai putarannya

Tidak bisa menjadi selamanya yang semestinya
Tidak bisa menjadi semestinya untuk selama - lamanya
Tidak bisa untuk tidak mengatakan tidak bisa
Tidak bisa untuk mengulang - ngulang kata yang pernah di corat coret sebelumnya

  Bayangannya berkempul menjadi satu di pantai selatan
  Satu per satu berdatangan dengan pasukan
  Tak henti - hentinya nama ku di elu - elukan
  Sehingga aku hanya terdiam karena mereka datang dengan pasukan

Aku hanya ingin menyatakan secara konotasi hari ini
Aku sudah terbaring lesu dan siap untuk di relakan
Tidak ingin masuk pada gerbang yang terbuka lebar
Tidak ingin menutup gerbang dari dalam, hanya ingin menutupnya dari luar

  Seperti yang di ucapkan Maha Tera yang Bijaksana
  Meninggalkan kesunyian untuk sebuah kearifan
  Menjunjung tinggi kearifan untuk bersabar
  Dan memanggil diri sendiri untuk tetap berdiri tegak diatas aspal yang ku injak

Diatas bangku kulit yang aku duduki, diatas kursi yang aku duduki, dan di atas rumput yang aku ajak berlari
Jangan pernah mengajak ku lagi dala irama yang sama
Para serigala ku siap untuk bertualang dengan ku, dengan buas
Silahkan lah untuk menutup gerbangnya sekarang juga.

Selasa, 28 Mei 2013

Rinduku pada Lilin dan Terangnya Seribu Lampion ditahun 2009

Begitu banyak komentar mengenai prosesi Waisak di tahun 2013 ini. Aku tidak begitu paham apakah ini hanya terjadi tahun ini atau di beberapa tahun sebelumnya. Aku sendiri memiliki asumsi setelah datang dan menikmati prosesi waisak dari awal hingga di batalkannya penerbangan lampion pada tanggal 25 Mei 2013. Konon katanya berdasarkan akun twitter dari Borobudur, 1000 lampion di terbangkan pada tanggal 26 Mei 2013 karena susasana yang terang. Bagiku, Waisak tahun ini serasa kehilangan momentum ibadahnya. Aku tidak mengatakan secara religi karena yang namanya ke khusyukan ibadah ya hanya dirasakan oleh mereka yang menjalankan, sedangkan aku disini hanya menikmati prosesi nya. Ini semua bukan sekedar salah dari pengunjung yang begitu banyak dan banyak pula dari mereka yang kurang memahami etika "merekam/mendokumentasikan" momen. Dan juga kesiapan panitia karena secara mengejutkan pun aku memperoleh RUNDOWN acara yang disebar melalui sosial media. Jika sudah seperti itu maka dari pihak panitia penyelenggara Waisak pun seharusnya sudah memiliki langkah agar acara bisa dinikmati dengan hikmat. Namun sepertinya hal itu tidak terjadi, membludaknya pengunjung dan para pemburu lampion pun tidak bisa di hindari. Bahkan parahnya, mobil panitia sendiri tidak bisa masuk di jalur Manohara Resort. 

Entah apa yang terjadi pada pelaksanaan Waisak tahun ini. Asumsiku adalah ini bukan kesalahan satu pihak. Di satu sisi, Waisak yang sudah di publikasi oleh panitia seharusnya sudah bisa diantisipasi dan belajar dari tahun - tahun sebelumnya untuk menangani banyaknya pengunjung yang tidak beribadah. Namun di satu sisi, para pengunjungpun sepertinya memang terkena dampak sosial media untuk terus menunjukan bahwa mereka menikmati acara tersebut. Tidak semua pengunjung salah, mereka punya hak yang absolut untuk datang karena acara itu memang di buka untuk umum dan dampak ekonomi yang begitu besar bagi warga sekitar. Hanya saja cara menikmati mereka yang tidak memperlihatkan kesopanan yang menurutku merusak esensi ibadah. 

      -----------------------------------------------------------------------------------------

Jujur saja, aku rindu dengan momen penerbangan lampion. Aku pernah datang saat itu tahun 2009 bersama teman - teman dari PPC dan UFO. Saat itu, memang banyak dari kami yang penasaran mengenai momen Waisak, terlebih mahasiswa baru sepertiku yang sebelumnya tidak pernah mengetahui bagaimana prosesi waisak. Saat itu sebenarnya aku pun masih belum paham mengenai indahnya prosesi waisak. Namun temanku, @mas_cah atau biasa dipanggil Cahya, mengajak ku dan meminjamkan aku kamera. Wah, ini sungguh pengalaman yang luar biasa. Bagaimana tidak, sudah di ajak, dipinjami kamera pula. Luar biasa memang jasa mantan ketua PPC ini. 

Aku sendiri sama sekali tidak mengerti seperti apa prosesi Waisak itu berlangsung dan bagaimana cara menikmati dan mendokumentasikan momen itu. Karena banyak dari kami --khususnya mahasiswa baru-- yang tidak mengerti prosesi ini, maka kami di ajak jalan - jalan malam oleh mas Yogi. Saat itu juga aku menyadari bahwa mas Yogi memang MARMOS (marai emosi, bahasa jawa dari suka bikin emosi). Bayangkan saja, dia dan beberapa mas - mas PPC yang lain mencoba mencari jalan untuk masuk ke dalam Borobudur. Ditengah keinginan kami, ditemukanlah segerombol bocah asli daerah Borobudur. Mereka menunjukan jalan "tikus" untuk masuk ke Borobudur di malam hari.

Niat kami sebenarnya simpel, hanya ingin mengerti spot - spot mana saja yang keesokan harinya bisa di dokumentasikan. Karena waktu itu satu hari sebelum pelaksanaan, jadi apa yang kami lakukan di pelataran Candi Borobudur tidaklah merusak esensi ibadah mereka. Justru kami disini melihat tempat mana saja yang harus dihindari agar tidak mengganggu proses peribadatan keesokan harinya. Lalu berjalanlah kami untuk menelusuri dan mencari tempat tersebut. Akhirnya kami mendapatkan tempat dimana prosesi itu berlangsung. Dulu lokasinya tidak berada di pelataran Candi Borobudur seperti yang terjadi beberapa tahun belakangan ini. Dulu tempatnya jauh dari Candi karena dulu Candi sama sekali tidak diperbolehkan untuk umum saat prosesi Waisak berlangsung. Candi hanya digunakan untuk proses ibadah Biksu dan Umat Budha dan mereka mengelilingi Candi di malam hari.

Masuk ke Borobudur malam hari (2009)

Tempat Ibadah yang tidak boleh dimasuki oleh pengunjung saat prosesi berlangsung, namun kami mengambil dokumentasi satu hari sebelum tempat ini digunakan.
Begitulah sekiranya rasa penasaran dari kami yang masih baru dan sama sekali belum mengerti prosesi Waisak. Setelah mengetahui tempat - tempatnya, kami menuju penginapan yang berada di rumah warga. Setelah lelah menyelimuti benak kami, akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat.

Gemuruh pagi dan kegaduhan yang ditimbulkan oleh orang - orang penasaran membangunkanku di pagi hari. Tidak terasa sudah pukul 6 pagi. Aku bergegas membersihkan diri dan mempersiapkan diri untuk berjalan kaki. Karena aku tidak tahu harus bagaimana caranya agar mencapai Candi Mendut, maka aku ikuti arahan dari para kakak angkatan. Berangkatlah kami menggunakan angkot, namun angkot itu tidak diperbolehkan melaju hingga Candi Mendut. Akhirnya kami memutuskan untuk turun di pertigaan yang ada Tugu Pahlawannya --sekitar 2 KM dari Candi Mendut-- dan beralih menggunakan delman hingga ke Candi Mendut. Berhubung prosesi belum di mulai, kami memutuskan untuk santap pagi karena perut belum berisi.

Setelah kami mengisi perut, tibalah para Biksu dan Umat Budha yang akan bersembahyang. Mereka beriringan dan rapi saat memasuki area Candi. Dahulu, setiap majelis umat memiliki tempatnya masing - masing untuk beribadah. Dibagi setiap majelis dan ada dari beberapa prosesi ibadah yang tidak boleh di dokumentasikan. Saat itu sangat ketat dan para pengunjung pun lebih teratur karena jumlahnya yang tidak begitu membludak. Prosesi Waisak sangat tenang dan sakral, bahkan bagi kami yang baru pertama kali ikut dalam prosesi itu merasa sedang berada di negri orang karena sama sekali merasakan suasana yang berbeda. Mulai dari doa hingga bahasa yang digunakan oleh Umat Budha. Sungguh prosesi yang sangat mempesona. Banyak nilai - nilai keramahan yang ditunjukan oleh umat Budha saat itu. Mereka tetap menyapa pengunjung dan pengunjungpun menghargai prosesi. Bila dikaji secara teknis, mungkin dulu para pengunjung yang ingin merekam prosesi tersebut sudah menyiapkan amunisinya dengan baik. Mereka membawa lensa "tele" sehingga tidak begitu dekat dalam mengambil gambar. Hanya saja ada beberapa yang tidak memiliki lensa "tele" --termasuk aku-- yang mencari celah agar bisa mendokumentasikan prosesi. Tidak harus terlalu dekat, cukup mengambil inti dari prosesi tersebut dan tidak mengganggu jalannya ibadah.

Arak - arakan menuju Candi Mendut

Biksu yang akan memimpin umatnya beribadah

Saat prosesi berlangsung pun, aku mendapatkan beberapa dokumentasi yang cukup menarik. Aku memahami cara mereka beribadah dan cara mereka untuk berbagi dalam doa. Sungguh prosesi yang banyak mengena pada Waisak di tahun 2009 ini. Selain itu, aku juga pertama kali melihat ada traveler yang "selo" banget. Kebanyakan orang membawa lensa "tele", namun orang ini tidak tanggung - tanggung. Dia membawa seperangkat alat rekam yang dahsyat. Alasannya adalah agar tidak mengganggu prosesi ibadah, karena dengan alat ini bisa merekam dari jarak yang cukup jauh dan mendapatkan hasil yang bagus. Karena saat itu aku masih mahasiswa baru jadi melihat hal seperti ini merupakan hal yang sangat menarik dan selalu aku ingat. Disitu pula aku mendapatkan pelajaran tentang cara mendokumentasikan sebuah prosesi yang menyangkut ibadah dan  tidak mengganggu jalannya ibadah tersebut.

Setiap majelis yang memiliki caranya masing - masing dalam beribadah

Sello yo mas, hehehe

Membagikan semacam "tasbih" untuk berdoa (photo by: @mas_cah)

Air Berkah yang sedang di doakan oleh para Biksu (photo by: @mas_cah)

Setelah hampir 6 jam mengikuti prosesi Waisak, akhirnya kami memutuskan untuk pulang ke penginapan. Kali ini lebih unik. Karena kami benar - benar berjalan kaki hingga Candi Borobudur. Itu pertama kali bagiku untuk ikut hal semacam ini. Sungguh sangat mengena di pikiranku hingga saat ini. Karena tubuh yang lemas dan keringat yang mengalir deras hingga membasahi semangat kami, akhirnya kami memutuskan untuk istirahat sejenak. Ada dari beberapa dari kami yang memutuskan untuk pulang ke Jogja karena saat itu kami berpikiran bahwa prosesi tidak diperbolehkan untuk diambil gambarnya. Berkuranglah jumlah dari kami yang ingin menikmati prosesi hingga akhir. Sebenarnya saat itu juga aku juga ingin memutuskan untuk kembali ke Jogja. Karena hujan yang sangat deras dan tidak membawa jas hujan akhirnya aku bersema beberapa teman yang bernasib sama mencoba bertahan di penginapan.

Hujan reda sekitar pukul 6 sore, saat itu juga kami mempersiapkan diri untuk meninggalkan rumah penginapan. Namun niatan kami untuk pulang ke Jogja terhenti setelah ada bocoran informasi jika akan ada penerbangan lampion di malam hari.  Akhirnya yang tersisa dari kami menyalakan kendaraan kami dan bergegas menuju tempat parkir yang ada di dekat Manohara Resort. Kami masuk ke tempat yang semalam didokumentasikan bersama. Saat berjalan ketempat itu, kami diberitahu tempat yang akan di jadikan penerbangan lampion. Tempatnya tidak begitu jauh dari tempat ibadah yang telah kami dokumentasikan. Tapi disini jauh lebih tenang karena para pengunjung berkumpul di tempat penerbangan lampion, bukan di tempat peribadatan. Setelah kami memasuki wilayah tersebut, ternyata sudah banyak sekali wartawan dan pengunjung yang sudah menunggu disitu. Entah dari mana juga mereka mengetahui informasi tersebut. Namun disini  kami sebelumnya tidak mengerti jika akan diadakan penerbangan lampion karena tidak ada RUNDOWN yang kami miliki.

Lokasi penerbangan lampio yang berbeda dari lokasi tempat ibadah

Proses penerbangan lampion

Lilin di sekitar lampion sebagai doa untuk menerangi keindahan alam semesta, jumlahnya hampir ribuan

Setiap orang menerima lampion secara GRATIS dan di doakan oleh Biksu sebelum mereka menerbangkan lampion tersebut

Seribu lilin yang dipasang di pelataran Candi.  Gambar ini diambil setelah prosesi  ibadah selesai


Rasa sabar ini selalu setia menemani benak ku yang sama sekali belum pernah menikmati prosesi yang sakral nan mempesona ini. Aku juga merasa senang karena satu tempat bersama para pewarta yang senantiasa menunaikan tugasnya dari pagi hingga petang untuk mendokumentasikan momen sakral ini. Setelah menunggu bebera jam, akhirnya prosesi ibadah selesai. Para Biksu pun berjalan menuju tempat penerbangan lampion ini. Mereka semua mengajak para pengunjung yang hadir di tempat itu untuk hening sejenak dan bersyukur atas rahmat Tuhan yang memberikan kesehatan pada prosesi kali ini. Lalu satu persatu dari panitia berjalan menata Lilin dan membagikan lampion disetiap cerahnya lilin yang menerangi padang rumput yang kosong saat itu. Setelah lilin tertata rapi, para Biksu pun berjalan lurus sesuai arah lilin dan setiap pengunjung di persilahkan untuk membentuk barisan sesuai dengan barisan lilin yang telah dibentuk. Mereka dipersilahkan untuk menyalakan lampion dan didoakan oleh Biksu yang ada di amsing - masing pusaran lilin agar doa mereka sebelum menerbangkan lampion dapat dilihat dan didengar oleh Tuhan. Aku pun ikut berdoa dan ikut menerbangkan lampion. 

Kaget, seneng, capek, berkeringat, kucel, dan bahagia pastinya menyelimuti otak dan perasaanku saat itu. Mahasiswa baru yang hampir tidak mengerti apapun tentang cara dokumentasi mendapatkan moment seperti ini. Aku merasakan proses ibadah yang sangat hikmat dan tenang. Tidak ada hiruk pikuk yang mengganggu jalannya ibadah, bahkan mendapatkan kesempatan untuk menerbangkan lampion yang jumlahnya ribuan tanpa di rencana terlebih dahulu. Seperti itulah sekiranya kenangan Waisak di tahun 2009. Aku tidak mengerti mengapa semakin tahun semakin banyak keluhan tentang Waisak, bahkan yang terakhir kemarin aku ikut menikmatinya. Aku hampir tidak merasakan apapun mengenai hikmat sebuah ibadah, mungkin ini karena pengunjung seperti aku begitu banyak dan jauh lebih banyak dari yang ibadah sehingga sangat mengganggu proses ibadah para umat Budha. Apa lagi saat kegiatan malam hari yang diganggu oleh telatnya PEJABAT yang memperkeruh suasana. Ditambah lagi teriakan "huuuu" saat pengumaman lampion di batalkan. Aku merasakan keanehan disini. Ibarat kata, "sing ndue gawe sopo sing riweh sopo" (yang punya hajatan siapa yang membuat ribut siapa). Semoga saja tahun depan bisa di perbaiki mulai dari proses perencanaan yang disusung oleh panitia dan para pengunjung yang seharusnya semakin bijaksana :)

Senin, 27 Mei 2013

This is Our Style, how about you??


Begitu banyak kesan dan pesan yang muncul setelah adanya kegiatan KKN. Memang kegiatan itu tidak sepenuhnya sesuai dengan program kerja yang telah di canangkan bersama. Bahkan bila di lihat secara kasat dan dan realistis, mungkin hitungan efek kerja lebih kepada kemampuan diri dari kelompok yang lebih intensif di temui setiap hari. Namun disini justru tempat KKN lah yang mengajari kamu untuk belajar dari alam. Belajar dari alam itu sendiri sebenarnya sudah sangat - sangat klise dan terkesan sangat normatif. Tapi disini pasukan khusus dengan nomer urut 146 membuktikan bisa menyesuaikan diri meskipun agak kesulitan. Dan hari ini aku akan menjelaskan dari beberapa kegiatan.

1. Foto pertama


Foto ini direkam saat kami akan menuju sebuah tempat dimana suhu udaranya jauh lebih rendah dibanding tempat pemukiman di daerah Dieng. Dari tempat tinggal kami berjarak sekitar kurang lebih 4 KM. Dan ditempuh kurang lebih sekitar 1,5 jam. Karena saat itu kami berangkat pukul stg 4 Pagi dan sampai tempatnya jam 5 pagi. Disana kami pas sekali melihat adanya sunrise yang berbentuk cincin. Tentu saja karena kami sudah mengetahui rendahnya suhu disana maka jadilah kami seperti ini. Kurang lebih ada tambahan di baju untuk memperhangat tubuh karena biasanya tidak sedingin itu.

2. Foto kedua


Beginilah mungkin cara kami untuk tidur. Tidak berbeda jauh dari pakaian yang kami kenakan setiap harinya. Bisa dibilang pakaian itu bisa di pakai dalam jangka waktu 3 hari karena sama sekali tidak keluar keringat ketika kami tinggal di Dieng. Selimut tebal dan jaket parasut adalah senjata wajib yang setiap hari harus siap sedia di sekitar kami. Jadi bisa dibilang antara tidur dan berkegiatan ya tidaklah berbeda jauh kecuali acara formal di siang hari.

3. Foto Ketiga

Malam Hari saat acara wayangan

kondisi depan pondokan yang persis dibelakang pemakaman  keramat

cara menyesuaikan diri untuk lebih dekat dengan warga

Menurut saran dari pemandu KKN kami di desa, ada beberapa cara agar lebih dekat dengan warga. Saat itu ada pementasan wayang. Bisa dibilang semacam pasar malamnya disini. Seluruh warga tumpah ruah dalam selimut kabut dan dinginnya udara di Dieng. Meskipun lautan bintang menerangi langit cerah di Dieng, namun tetap saja kami manusia biasa dan tidak terbiasa tinggal di suhu yang rendah. Dengan cara seperti ini maka kami berusaha untuk menyesuaikan diri dengan warga. Emm...kalau menurutku si ada manfaatnya untuk mengikuti apa yang disarankan oleh orang setempat karena dengan kita menyesuaikan gaya mereka maka kita akan lebih mudah diterima, dan beginilah cara kami.


4. Foto Keempat

acara pesta ulang tahun

Namanya saja orang yang sudah terbiasa untuk hidup di kota. Pasti banyak sekali kebiasaan - kebiasaan yang masih tetap terbawa, salah satunya adalah proses perayaan ulang tahun. Nah pada hari ini, salah satu teman kelompok KKN kami, chery, sedang merayakan ulang tahun. Ada yang berbeda dari pesta ulang tahun yang biasa kami lakukan di kota kami masing - masing. kostum dan dandanan kami sekarang berbeda. Bahkan bisa dibilang sama saja seperti malam - malam yang lain. Tetap memakai sarung, jaket parasut, celana panjang parasut, dan kupluk. Itu hampir tidak bisa terlepas dari kami. Jadi ya, this is our style, how about you, dude?

Jumat, 24 Mei 2013

Negri Di Atas Awan, Rindu kah kalian?


Tulisan ini aku dedikasikan untuk pejuang 146 yang bersedia hidup selama 50 hari pada suhu yang tak menentu rendahnya. Sebentar lagi akan ada moment istimewa, apalagi kalau bukan Dieng Culture Festival. Tapi disini, aku tidak hanya mengajak kalian untuk ikut ke acara itu, aku hanya ingin berbagi dan bertanya, masihkah kalian rindu pada Negri di Atas Awan ini dengan segala kenangannya?? Begini kisahnya........


Negri yang panjang membentang pada lingkaran katulistiwa ini selalu menuliskan kisah yang bermakna

Makna dalam lingkaran cincin efek dari photoshop yang bibuat langsung oleh sang Maha Pencipta

Untuk menciptakan dunia tanpa batas dan alas yang diambang batas

Bahkan sinarnya tak pernah padam jika kalian ingat pada awal Juli hingga akhir Agustus, Kalian lah yang menyaksikan sendiri kisahnya. Negri di Atas awan.


Kalian bisa menikmati dengan cara kalian sendiri. Cara kalian yang begitu luar biasa menakjubkan bukan?

Kalian yang pernah mengumpulkan cahaya Nya dengan sempurna dan di bagikan kepada sekelompok warga

Lalu di aplikasikan melalui juru bibir yang tak akan pernah lepas kendali dan terus memperhatikan isinya.

Awalnya memang sangat canggung untuk berirama bersama dalam ruang yang sama, tapi kalian mematahkan itu.

Bahkan kalian berani menunjukan ada surga baru yang bisa di bangun, meski harus sabar untuk menikmatinya. Meski tingkat mustahilnya tinggi untuk diterima penggila emas kentang disana.

Cukup sajalah kalian melangkah pada alam hijau yang bebas beserta polusi nya. Karena kalian juga tahu bahwa keindahan ini selalu dirusak oleh asap mengupal.

Mengupal atas nama cinta yang di dedikasikan melalui kertas dan logam dan di percaya menjadi  bahu bagi setiap keluarga. Padahal secara esensi kalian memahami, ini semua kotor.

Kalian melihat sendiri banyak hal kotor di tengah kumpalan logam dan kertas yang bernilai harganya itu.  Semua seolah dibuat baik - baik saja, Padahal tidak seperti itu adanya.

Rasa penasaran kalian juga semakin besar pada setiap sudut bukit yang membentang, hingga kalian mencoba mengumpulkan sekumpulan orang yang se visi dengan kalian.
Rasa penasaran itu tida berujung pada visi itu. Kalian selalu mencari waktu disaat adzan Maghbir akan dikumandangkan. Kalian selalu mencari satu nama, Rahma. segaligus selalu mengartikan apa arti tulisan jawa di lehernya

Tidak sekedar Rahma, hanya untuk memastikan bahwa tujuan kalian disini tidak hanya untuk memahami ilham yang begitu besar tentang keberagaman, tapi juga tentang keindahan sebuah makna keramahan. Kalian sendiri yang membuktikan.


Mencoba untuk selalu berjalan maju dalam tanah yang terjal dan menurun untuk memberikan satu ekspedisi pulau lentera yang kalian buat dari kertas di siang hari.

Dan selalu membuat mereka nyaman pada hangatnya kebersamaan yang dibangun satu per satu, hari perhari, dan tempat per tempat.

Tidak semua tempat dan waktu dapat menerima dengan indah. Tapi tempat terindah yang pernah menerima kita sebagai kekurangan adalah kehangatan dari aroma bayi dan sop yang masih mendidih dan sudah disajikan ke kalian. Semua agar kalian merasa hangat.


Sejatinya mereka tak jauh dari Batu yang duduk manis di telaga merdada bukan? Batu yang begitu keras mampu hidup di lingkungan yang indah. Seperti itulah sebagian dari mereka yang tidak sepenuhnya menerima kalian di akhirnya.

Tapi kalian tak pernah letih untuk menjaga mata di pagi hari pada sinar yang terik . Untuk tetap melaju pada papan yang masih kosong dan penuh debu.

memastikan mereka tak pernah lagi tertinggal oleh asa dan era


Dan satu per satu dijelaskan dengan hati yang sempurna

Tak pernah lelah sekalipun kalian harus terus memasang pipa untuk menyambut surga baru yang kalian pilih selama 50 hari

Dan tetap bersabar pada kebiasaan lama untuk menunggu dan selalu menunggu

Rasa cemas dalam menunggu pun kalian alihkan pada keceriaan yang kalian bawa dari kota dan kalian buktikan bahwa kalian jauuuuh lebih peduli dari yang mereka bayangkan.

Kalian rela membawa beban yang seharusnya bukan kewajiban kalian untuk dibawa.

Sekalipun kalian terlihat sangat ceria di depan kamera dan mereka.

Tapi mereka tak pernah tahu, bahwa kalian selalu berusaha untuk  memberikan keikhlasan kalian pada dunia yang berbeda dari sebelumnya. Selalu berusaha mengelupaskan kulit kacang nya sekalipun kalian dalam tangis yang mengiris hati.

Hati yang tak begitu kalian hiraukan untuk sementara waktu.  Untuk membentuk kumpulan tangan yang terpadu dan bersatu

Bukan, bukan terpadu untuk menipu. Terpadu untuk melepaskan belenggu yang selama ini menjilat lidah kalian sendiri

Hingga pada satu titik, kalian menemukan bongkah batu indah yang letaknya diluar jangkauan kalian

Sekalipun takut, kalian terus mencoba

Rasa tidak percaya diri terus kalian bangun dan kalian muntahkan jilatan yang membelenggu ketakutan kalian

Dan hasil akhir yang bisa walaupun harus ditemani dengan kebohongan yang menyakiti kalian


Hanya bersabar yang bisa menunjukan ketulusan kalian

Terus menunjukan keceriaannya lagi yang tak pernah padam


Pada lingkungan yang selalu menghabisi energi disaat menumbuhkan untuk menyambut bulan suci.

Sekali lagi selalu bersabar pada tingkah yang tidak menentu dan banyak permintaan di luar batas kemampuan


Seperti yang kalian rekam dengan sempurna untuk tahun - tahun mendatang

Meskipun di tahun mendatang pupuk ini pun tak pernah dipraktekan oleh mereka yang selama ini selalu meminta

Tapi yang aku dan kalian mau hanyalah tentang kerinduan. Kerinduan pada kebahagiaan yang kita bangun bersama meskipun itu terasa lucu disaat kita tertawa bersama. Bukan hanya berdua saja saat itu, tapi bersama saat ini


Seperti bunga merah yang tertanam rapi di telaga merdada. Tidak kah Kalian semua rindu Negri Di Atas Awan  ini, Kawan???