Minggu, 05 Agustus 2012

Mediasi Jeruji Besi


Bagiku pukul 16.00 WIB atau yang dikenal dengan "jam papat sore" ditelinga orang jawa adalah waktu dimana angin berhembus cukup kencang dan kemungkinan membawa serpihan sisa - sisa panasnya siang hari di lantai 3 kos patria. Apalagi kalau bukan seperangkat dekstop yang dipenuhi warna hitam dan paper art yang berdiri tegak diatas PC bertuliskan "semoga...semoga...semoga....", semua itu penuh doa. Tabir - tabir doa selalu dipanjatkan oleh anak - anak manis manja yang berkumpul mengumandangkan keinginan mereka untuk membaca sebuah karya sastra paling istimewa di dunia. Bagaimana tidak,suara kencang mereka selalu beriringan dengan suara tertawa saat mengajak teman sebayanya membaca karya sastra paling istimewa itu. Aku berhenti sejenak ketika kotak hitam yang menyerupai seperangkat desktop ku bergetar. Kotak hitam buatan Canada itu menggoyangkan tubuhnya agar mencuri perhatian kedua bola mataku. Tanganku segera beranjak untuk mengambil kotak hitam yang sudah tidak bermuka.

".............. Calling (sebut saja hasan). Aku lupa bahwa kotak hitam itu terlalu populer untuk masa kini sehingga getaran yang dibuatnya cukup membuat layar menjadi bergelimpang garis - garis layaknya sebuah layar televisi yang teralu panas. Ku pikir orang - orang Canada itu terlalu serakah sehingga aku menjadi korban dengna harga 3,2 juta dan layar yang bergaris - garis ini menyambut getaran telfon itu. Sejujurnya daun telingaku sudah tidak lagi ingin merasakan sengatan listrik kecil dari speaker yang tersedia,namun karena itu hasan maka aku menekan tombol hijau sembari tersenyum ke arah layar dekstop.

Hasan : "halo dir...priwe kabare" (halo dir,gimana kabarnya)
Aku    : "Alhamdulillah sehat, ko kepriwe nang kono?sing semangat san" (kabarmu bagaimana disitu?yang semangat san)
Hasan : "iya kie lah,nyong wis entek - entekan, ora due sangu...ko dolan ngene si ngapa"(Iya ini,aku sudah tidak punya apa - apa lagi, kamu mbok ya main kesini)
Aku    : "hahaha,iya san,ngapure lah ya,ndilalah nyong lagi skripsi trus jadwal ketemu dosen mandan angel dadine ya cok ora bisa ngepasnya karo jam besuk nang kono" (hahahah,iya san,maaf ya,kebetulan aku sedang mengerjakan skripsi dan jadwal untuk ketemu dosen sedikit sulit sehingga aku kadang ga bisa ngepasin dengan jadwal besuk disitu"
Hasan  : "iya lah ko ngereng banget tak enteni ka ora tau dolan kene"(iya lah,kamu sombong banget,aku tungguin kok ga pernah main kesini)
Aku      : "iya kie lah,bocah - bocah priwe san?cok pada besuk ora?ko jan wis entek - entekan?"(anak - anak sering jenguk kamu nggak?kamu beneran udah ga punya apa - apa lagi disitu?)
Hasan     : "iya dir bocah - bocah ora tau mrene blas,nyong mbok ditiliki karo gawakna apa lah sing bisa tak pangan. Nyong dongakna ya men ana perubahan nang kene. hehehe" ( iya dir, temen - temen ga pernah kesini lagi sama sekali. aku mbok ya dijenguk sama bawain apa lah yang bisa ku makan. aku minta doanya agar aku disini bisa berubah.hehehe)
Aku        : "pasti buoss,,pasti tak doakan. Ko sing sabar ya karo kudu tetep berusaha. ko ora tau telfon bocahan pa?"(pasti bos, pasti ku doakan. kamu yang sabar disitu dan harus tetap berusaha. kamu ga pernah telfon anak - anak?)
Hasan       : "lah,wis pada kelalen mbok,paling ya isin ndue kanca kaya kie,hehe"(lah,paling - paling mereka sudah lupa,mungkin malu kali punya teman sepertiku,hehehe)
                             -berlanjut ke beberapa percakapan dan akhirnya percakapan selesai-

lima belas detik aku pejamkan mata dan mataku berisi bulatan-bulatan putih yang tersusun seolah ada cahaya kamera dengan flash "menjepret" pada mataku. Aku mencoba meng-sinkronkan antara pikiran, egoisme, dan kembali mengingat percakapan. Ah..tentu saja aku ingat bahwa pagi hari sebelum hasan menelfon saya terdengar dengan keras pada TOA Masjid sebelah. Pada dasarnya aku sangat menyukai pidato yang disebut KULTUM, tapi pagi itu KULTUM serasa VAKUM karena teks yang dibaca oleh orang yang tegak dimimbar adalah sebuah kesalahan yuridis bagi kaum terdakwa. Tengoklah pada artis NOAH yang karismatik itu, bagi orang yang berbicara dengan lantang dan tegak itu sekali di bui tidak berarti. Tentu saja aku ingat mengapa artis NOAH itu bisa masuk pada jeruji besi.

Aku mencoba berfikir sedikit tenang dengan santapan bakwan kawi plus pisang ijo yang siap berselancar di lambungku. Mengapa harus ada justifikasi jika Allah mengetahui mana yang benar dan mana yang buruk? Mengapa harus ada yang seolah benar ketika ia setiap hari datang ke tempat ibadah?Mengapa harus ada aroganisme ketika Ayat Suci sudah menuliskan karya terindah di Dunia?Anehnya mengapa kaum - kaum yang beruntung "benar" tidak mencoba untuk melihat kemungkinan takdir yang disediakan oleh Allah?bukankah takdir itu disediakan dan terkadang kita tersandung dalam mengambil takdir itu?

Mungkin apa yang dirasakan Hasan dan artis NOAH itu memiliki sifat naluriah. Bukan maksud aku untuk memaklumi, aku hanya ingin sedikit memahami bahwa bagaimanapun juga mungkin hingga saat ini aku masih beruntung mengambil takdir yang "benar". Aku mencoba membuka karya sastra terindah itu dan mulai membaca dengan tata baca yang "benar" pula. Garis - garis memberiku petunjuk untuk melantunkan secara merdu(entah itu merdu bagi telinga teman kos atau tidak).  Aku beruntung juga masih dipercaya hasan sebagai kawan untuk bercerita. Aku beruntung pula masih bisa makan bakwan kawi dan es pisang ijo sebelum berfikir.

Aku sedikit berfikir bahwa untuk berdiri tegak dan berbicara lantang didepan mimbar merupakan sebuah tanggung jawab hati. Tak perlu memikul seberat tukang bangunan, hanya saja menjaga dalam bersilat lidah bahwa orang jeruji besi mungkin tersandung dalam mengambil takdir. Mungkin juga orang bui adalah seniman hidup yang mau belajar dari kesalahan. Seniman bukan berarti orang yang pintar melukis, bernyanyi,   baca puisi, atau sebagainya. Seni-man juga bisa berarti seni dalam satu kesamaan iman dimana orang - orang mampu melukiskan indahnya berbagi pemahaman pada kaum seiman, bisa juga seni bagi freeman(orang - orang bebas) yang merubah dirinya untuk menjadi lebih "benar". Mungkin jeruji besi menjadi salah satu media nya. Jadi, sudahkah kita bersyukur telah mengambil takdir yang "benar" dan sudah kah kita memahami bahwa ada media bagi seniman yang begitu perkasa yakni jeruji besi? you choose.

Teringat dengan beberapa pemahaman yang dituliskan ANDREW TOLSON mengenai mediasi. Semua butuh teks, semua butuh konteks, dan semua menghasilkan sub-teks sesuai pengamalan masing - masing individu.  Jika jeruji besi merupakan media seni merubah diri bagi orang - orang yang tidak beruntung dalam mengambil takdir, mungkin juga terdapat solusi - solusi seni untuk berbagi.

Rabu, 01 Agustus 2012

Kutu - membaca - Buku

                                                        ********************

"tidak usahlah kamu seolah membaca apa itu arti hakikat karena pada dasarnya kamu tidak pernah secara sistematis diajarkan apa itu hakikat.....tidak usahlah kamu seolah membaca apa itu arti hakikat ketika kamu kamu bisa berjalan di pesisir rambu - rambu lalu lintas dan keramaiannya.......tidak usahlah kamu pura - pura melirik beranda pada majas hiperbola untuk melihat resensi - resensi katulistiwa yang seolah kamu bisa tuangkan pada lembar HVS....sudahi sajalah karena itu semua butuh pengakuan....itu semua butuh kearifan....."

Sepertinya angin yang baru saja berhembus kencang menyambangi lantai tiga dengan tiga anak tangga membawa butiran - butiran kalimat yang tak terjaga. Bagaimana mungkin bisa terjaga jika selama hampir 14 jam harus berpuasa dan hanya diberi kesempatan untuk menguyah dengan asam garam yang tersedia di rongga mulut. Itu semua sepertinya memang alasan semata. Sempat beberapa kali aku mencoba merenungi apa yang aku jelajah, simpel saja menggunakan alamat - alamat yang dituliskan dalam bentuk sedikit rumit. lihat saja : 

http///www.blablabla.com/blog/blablabla/blablabla/ID/1234456787890

Aku membayangkan jika alamat itu digunakan untuk mencari alamat di desa - desa maka yang ada hanyalah ayu tingting bersama gaya korea - koreannya menyanyi alamat palsu. Kecenderungan untuk menikmati sebuah gaya tata bahasa dan daya persuasi terkadang tidak mampu untuk dijamah seseorang dalam membaca sebuah susunan kalimat. Entah slogan apa yang bisa membuat orang begitu percaya bahwa buku itu adalah jendela dunia. Jika buku itu jendela dunia, maka orang - orang hanya mampu melihat isi dunia dari dalam ruang yang terkungkung sepi makna. Ya,makna itu seolah digiring untuk membuat pengertian bahwa seseorang hanya mampu melihat pada sebuah ruang hampa. Mengapa tidak saja dibuat slogan buku adalah alamat dunia, atau buku adalah kendaraan dunia. Sepertinya itu lebih aktif untuk membawa seseorang datang ke suatu tempat yang dibaca olehnya.

Lebih parah lagi kecendurang orang yang seenaknya menjustifikasi bahwa "jendela dunianya" itu adalah yang maha dahsyat dan maha benar. lalu dimanakah letak keagungan Al Qur'an, Al Kitab? dan AL AL yang lain -yang pasti bukan Al El Dul- mengapa tidak diresapi terlebih dahulu mana yang tersirat makna dan tersurat makna? Ya karena itu semua bersifat sistematis. Sistematis selalu menjadi kendala ketika seseorang belajar untuk membaca. Orang hanya ingin mengetahui secara singkat dan cepat sehingga seolah - olah ia sudah mampu merangkum apa yang ia baca. Menarik bukan bahwa faktanya media baru (internet) mampu membentuk sebuah aktivitas baru yakni "bacalah tulisannya lalu kamu akan pintar". Aktivitas ini seolah menggrayangi pikiran - pikiran para penikmat media baru.

Tidak hanya pada media baru, ku pikir banyak sekali proses resepsi pesan dalam membaca sebuah susunan kalimat memunculkan persepsi unik. Lihat saja beberapa buku - buku yang mendasari sebuah asumsi. Buku - buku yang mendasari sebuah logika, buku - buku yang mendasari sebuah fenomena bahkan terjadinya sebuah wilayah,Maha dahsyat bukan?!

Sebenarnya aku hanya belajar untuk berfikir lebih jernih dan jeli dalam melihat setiap susunan kalimat. bagaimanapun setiap susunan kalimat memiliki unsur subyektifitas dari penyusunnya. Coba bayangkan jika kita tidak melakukan sistem filter pada diri kita sendiri dalam membaca sebuah susunan kalimat, akan ada berapa puluh ribu MLM bermunculan dan akan berapa puluh ribu orang  akan menjadi pengangguran demi membuktikan dirinya bahwa secara pribadi dan swasta mampu menghidupi diri nya tanpa memikirkan modal sepeserpun?Istimewa sekali penulis - penulis masa kini mampu membentuk gerakan massal baru seperti itu.
                                                   ********************

Banyak hal yang terkadang membuatku prihatin terhadap perkembangan cara orang untuk memahami sebuah makna. Jujur saja banyak motivator yang lupa untuk memberi tahu bahwa sebaiknya dalam membaca buku itu perlu didasari hati yang jernih dan pikiran yang terbuka. Mengapa harus hati yang jernih? karena semua itu pada akhirnya akan berimbas kepada pembaca. Semakin membuka susunan kertas buram semakin banyak titik koma yang dimaknai. Untuk memaknai itu sendiri perlu menyatukan keharmonisan otak dan mata dalam melihat keserasian antara buku dan apa yang dilihatnya. Buku seolah - olah selalu menjadi mentor pribadi bagi setiap pembacanya. Aku mulai berfikir ulang untuk memaknai susunan kalimat dalam buku sesuai dengan pengalamanku. Terlalu membaca buku terkadang memiliki sikap justifikasi atau menghakimi sesuatu secara semenan - mena. Padahal kita tidak sadar bahwa penulis buku memiliki pengalaman segudang untuk menceritakan dan membutuhkan proses untuk menjustifikasi sesuatu. Apakah pembaca secara serta merta mampu mengaplikasikannya?tentu saja tidak -menurutku-. Apapun itu selalu butuh proses, tindakan yang layak ditunjukan untuk merespon apa yang telah dibaca.

Maka sebutan kutu buku pun terkadang cocok bagi orang - orang yang tidak memiliki sistem filter pada dirinya sendiri. Ya, makna kutu sebagai sesuatu yang menjijikan pun akan terlihat dari justifikasi yang dilakukannya. Jadi bacalah buku dengan memperhatikan susunan kalimat dan akan lebih baik jika dibandingkan dengan beberapa tulisan atau karya penulis lain agar pemahaman bisa dicerna dan dijadikan salah satu unsur motivasi melakukan sesuatu. Kalau kata beberapa dosenku si "jangan percaya dengan satu buku saja, bacalah yang lain untuk membandingkan pemikirannya sehingga kamu bisa memilih mana yang cocok dan tepat kamu ambil sebagai dasar berfikir logis mu"